Cari Blog Ini

Senin, 04 Januari 2021

Selamat Tinggal Halmahera

15 Juli 2010
Selamat tinggal Halmahera….


Ini hari terakhir petualangan bersama para guru di pedalaman Halmahera, khususnya di Kec. Kao Barat.  Tempat ini belum terbayangkan sebelumnya ada, mungkin dalam mimpipun tidak.  Hari terakhir ini guru-guru sangat bersemangat, karena dua hari sebelumnya telah mendapatkan pencerahan yang lain daripada yang lain.  Kami sangat terharu ketika seorang kepala UPTD berujar, “saya sangat merindukan kembali mengajar di kelas…” tentunya setelah mendapatkan metode-metode unik yang kami berikan.  Mereka berjanji akan menjadi guru-guru yang bersemangat baru, guru sejati.  Syukurlah, apa yang kita sajikan bermanfaat, biar hanya segelintir guru di pedalaman sekalipun.  Perubahan peradaban dimulai dari guru-guru, itulah keyakinan kami.
Hari ini istimewa, selain kami berangkat menggunakan kendaraan “Sofifi” baru, Innova, karena sang kijang diistirahatkan setelah mencetak “hattrick” kemarin.  Juga karena hari ini hanya berkegiatan setengah hari.  Sebab kami besok akan pindah “ngamen” ke kota Galela, sekitar 30 km dari Tobelo, tempat kami menginap.  Jadi sengaja kami percepat, agar ada waktu bagi kami sekedar melepas penat berenang di pantai atau di danau air hangat.  Soalnya jadwal yang padat belum menyempatkan kami mengeksplorasi daerah ini yang terkenal indah.
Mobil “Sofifi” yang baru ini cukup nyaman, sehingga kami bergurau, jangan-jangan semalam jalanan menuju ke Kao Barat sudah dihotmix.  Gurauan yang membikin nyengir sang pemilik kijang.  Mobil “Sofifi” disini memang bagus-bagus.  Jarak 210 km dilayani oleh berbagai jenis kenadaraan.  Jika di Jakarta Innova digunakan untuk level manajer kelas menengah, disini digunakan sebagai pengangkut orang, pisang dan sering menjadi tumpahan rasa sebal seseorang dalam arti sebenar-benarnya.  Tidak hanya Innova, Fortuner pun bernasib sama, mengangkut pisang!
Sehabis penutupan, segera kami pak barang-barang.  Banner, ATK, kabel-kabel dsb., sudah masuk ke dalam tempatnya masing-masing, kemudian disusun di bagasi mobil.  Kemudian makan bersama.  Hidangan kali ini ikan mas bumbu dabu-dabu, ikan tongkol, dan sayur kangkung.  Sederhana memang, tapi kebersamaannya yang luar biasa.  Setelah berpamitan kedua kali, kami langsung berangkat.  Jam menunjukkan pukul 3 WIT.  Semoga kami bisa sempat main di pantai.
Di perjalanan menjelang masuk kota Tobelo yang menyusuri pantai, tampak di kejauhan di balik pulau-pulau yang berserakan, kapal induk Amerika bersembunyi.  Badannya yang putih tinggi besar menyembul di balik pulau.  Ada apa dan maksud apa mereka singgah selain ada pengobatan masal? Kita tidak tahu.  Padahal rumah sakit, puskesma pun sudah banyak.  Buat apa mereka datang mengobati?
Di penginapan langsung kami mandi.  Siap-siap untuk menikmati kota di sore hari.  Tidak lama kemudian HP yang memang jarang berbunyi selama disini,, bergetar.  “Pak Kalih, bisa ke kantor sebelahkah?”  Begitu suara dari seberang.  Memang penginapan kami bersebelahan dengan kantor lembaga yang mengontrak kami.  Lembaga yang memiliki perwakilan hampir di seluruh wilayah di Indonesia.  Ada apa gerangan?  Dalam hati sudah bertanya, bukankah segala urusa admistrasi dll., sudah diurus oleh Tim Delta di Bogor?
Ternyata di kantor kami telah berkumpul perwakilan lembaga tersebut yang datang dari Galela, tempat tujuan berikutnya.  Ada hal yang penting dan genting, hingga mereka menemui kami disini. 
Suasana Galela sedang panas, kendaraan dinas ada yang dibakar.  Penyebabnya urusan sepele, ketidak lolosan bakal calon bupati oleh KPUD.  Rupanya masa pendukungnya tidak terima, dan akan mendemo secara besar-besaran besok hari.  Saya tanyakan apa rekomendasi orang Galelanya sendiri, dan mereka tidak menyarankan kegiatan hari esok.  Apalagi ada kumpul-kumpul guru yang notabene orang pemerintah, yang mereka sasari dan benci.  Bahkan staf dari Galela sudah menghubungi koordinator demonya sehingga sedikit bocoran sudah didapat.  Akhirnya setelah berdiskusi singkat, keselamatan yang utama.  Ini sesuai dengan jargon Selamat-Manfaat-Nikmat kita.  Tim harus kita evakuasi untuk menghindari hal-hal yang mungkin terjadi disini.. Di sini potensi konflik sangat tinggi.  Sisa-sisa cerita ngeri konflik masih terdengar.  Apabila demo benar terjadi dan masuk ke kota Tobelo, dipastikan bandara dan sarana lain lumpuh.  Dan kami akan terjebak untuk waktu yang tidak bisa diduga.
Akhirnya diputuskan, sore ini juga tim harus berangkat ke Ternate, kota yang dipisahkan jarak dan waktu sejauh 210 km + 1 jam penyebrangan menggunakan speedboat atau ferry.  Lembaga yang mengontrak kami tidak mau mengambil resiko apapun terhadap konsultannya.  Saat itu di penginapan Pak Andir da Pak Okwan sudah siap-siap untuk berenang, demikian pula Kang Lutfhi yang sedang bermasalah dengan pencernaannya namun siap pula untuk berendam.  Segera saya kumpulkan pasukan dan membriefing untuk segera mengemas barang dalam tempo 15 menit.  Setelah juga mengirim kabar ke markas komando di Bogor, kami siap berangkat.  Raut kekecewaan yang mendambakan rekreasi pun saya tangkap.  Tapi komando harus dijalankan.
Setelah menyepakati kejadian Forcemajeur dalam perjanjian, dan disepakati akan diselesaikan dengan musyawarah di kantor pusat, jam 6 sore mobil meluncur.  Innova dan Yaris yang sejak pagi masih menjadi pengantar kami.  Kedua orang sopir yang setia mau mengantar kami hingga ke titik penyebrangan.  Dengan imbalan yang pantas tentunya.
Perjalanan yang indah namun dengan perasaan belum siap sepenuhnya untuk menikmati.  Pikiran masih agak kacau dengan rencana yang berubah tiba-tiba.  Namun lama-kelamaan kami nikmati juga.  Jarak perjalanan 210 km cukup mengganggu perasaan.  Karena sebenarnya saya ingin istirahat.  Setiap hari menempuh sekitar 100 km dengan kondisi jalan yang menegangkan, membuat stamina terkuras.  Sudah terbayang jarak sekitar Jakarta-Sumedang yang harus ditempuh malam hari dengan jalan non tol.  Namun, kendaraan yang nyaman dan sopir yang piawai menjadikan saya cukup menikmati perjalanan ini.
Mobil “Sofifi” adalah raja jalanan di sini.  Kecepatan rata-rata 80-100 km per jam.  Biasa bagi pengguna Tol Cipularang atau Jagorawi.  Namun jalanan disini sangat sempit, kira-kira seluas satu baris di jalur jalan tol saja.  Jadi kalau berpapasan akan sangat pas.  Namun urusan papasan, di jalanan sempit tersebut, sopir tidak melambatkan kecepatan, jadi saat berpapasan bisa masing-masing berkecepatan sama.  Serasa naik KRL Pakuan yang berpapasan.  Sepanjang perjalanan sebenarnya disuguhi pemandangan yang sangat indah.  Pantai di sebelah kiri dengan berbagai variasi konturnya.  Namun itu terlihat kalau siang hari.  Malam hari begini memang laut tidak terlihat.  Namun bintang-bintang bertebaran sangat indah.  Bulan sabit di barat yang malu-malu akhirnya sembunyi perlahan di balik bukit-bukit.  Sementara sang sopir memutar lagu Richard Marx yang berjudul.., seolah tahu hati perasaan romantis penumpangnya.  Keindahan alam berpadu dengan kekayaan rasa kalbu, mengingat orang-orang tercinta dan yang mencintai kita.  Hmm… indahnya cinta.
Setelah berhenti di rumah makan, rombongan berhenti keduakalinya di halaman kantor gubernur Halmahera Utara, sudah di Sofifi.  Gedung yang sangat megah, besar dan mewah.  Sekali lagi, cukup ironis bagi sebagian besar warganya yang berambut pirang….  Bagi penggemar Donal Bebek, kira-kira mirip gudang uang Paman Gober, namun digabung dengan Marlinspike Hall-nya Kapten Haddock di kisah Tintin.  Malam hari itu kami memandang kantor dengan perasaan aneh, seolah memandang gedung kasino di Las Vegas…. Dari gedung di atas bukit ini, pulau Ternate, Tidore dan sekitarnya jelas terlihat.  Mengingatkan kepada kantor gubernur Gorontalo yang juga di atas bukit yang pernah kami singgahi.  Seolah ingin menunjukkan kemakmuran pemimpinnya…..
Tidak lama kemudian, sampailah di pelabuhan speedboat.  Setelah tawar menawar, barang dipindahkan dari mobil ke atap speedboat.  Dan kami duduk di bawahnya di ruang yang tidak begitu luas.  Kapasitas kalau penuh mungkin sekitar 25 orang.  Dan tak lama kemudian speedboat melaju kencang, menembus gelapnya laut, menuju gemerlap kota Ternate di seberang sana.  Kang Luthfi yang sedang bermasalah dengan perutnya seolah lupa, dia menclok di ujung depan atap bersama sang juru lampu, seolah ingin lebih dulu menyongsong keindahan dan angin laut.
Bintang gemintang yang cemerlang nampak lebih banyak jumlahnya dan lebih dekat, seolah memayungi kami, dan dihadapan lampu kota tua Ternate, peninggalan kesultanan yang makmur, bagai gelang emas yang mengelilingi gunung Gamalama yang berdiri angkuh.  Tepat jam 23.30 kami berada ditengah laut yang gelap dihembus angin kencang, kami meninggalkan bumi Halmahera yang indah.  Selamat tinggal Halmahera……kami pasti kembali!

Tayan, di tepian Kapuas

Jalan-jalan ke Tayan (3)
Tidak seperti di Pontianak dan sekitarnya, Batang Tarang memiliki sumber air.  Jadi, walaupun tergantung listrik, air cukup baik disini.  Mesjid dan surau, walaupun sedikit penggunanya, selalu berlimpah air.  Jadi saat jeda atau rehat, pilihan di surau adalah terbaik.  Surau, walaupun berdinding dan berkeramik, tetapi tidak berpondasi.  Melainkan berdiri di atas tonggak-tonggak balok kayu besi atau ulin.  Walaupun sepintas balok-balok itu kecil, namun kokoh dan tidak lapuk oleh cuaca dan air yang menggenanginya.  Konstruksi demikian, hampir ditemukan di seluruh rumah dan bangunan yang dijumpai sepanjang Pontianak-Sanggau.  Gedung Olah Raga pun berkonstruksi demikian.  Jadi hampir semua bangunan disini adalah panggung.  Makanya, ketika jalan di Ancol ambles, pasti orang Dayak akan menertawakan cara kerja para kontraktornya.....
Sungai Kapuas sangat mendominasi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kalimantan Barat.  Namun demikian, bagi kami sungai Kapuas masih hanya dalam cerita saja.  Kami sekedar melewatinya saat akan ke Sanggau, dan tentu saja saat akan mendarat di Pontianak.  Oleh karena itu, untuk mengenal daerah lebih jauh dan menghapus keingintahuan kami, diusulkanlah kunjungan ke Sungai Kapuas. 
Akhirnya, sore hari kami berangkat ke Tayan.  Sekitar sejam perjalanan dari Batang Tarang.  Tayan lebih ramai.  Kota yang berujung di sungai.  Ternyata sungai Kapuas ini seperti layaknya laut atau danau saja.  Terdapat dermaga tempat berlabuh masyarakat yang berdomisili di pulau Tayan.  Tayan itu terdiri dari daratan dan pulau di tengah sungai.  Pulaunya cukup besar dan ramai, mungkin sekitar 1 RW atau lebih.   Banyak yang bekerja di daratan dan tinggal di pulau.  Angkutan perahu bermesin lalu lalang layaknya becak atau ojek di kota. 
Sore itu sangat cerah, pemandangan sangat indah.  Kehidupan masyarakat habis berbelanja turun dari bis dan hendak menyebrang dengan barang-barangnya.  Hiruk pikuk yang mengasyikan.  Kami menaiki boat milik WVI yang mengundang kami ke sini.  Kios BBM pun terapung, sangat unik.  Setelah tanki terisi penuh, mulailah perjalanan menyusuri sungai Kapuas.
Sang pengemudi mengarahkan ke seberang.  Jadilah kami menyusuri pulau Tayan.  Rumah di pulau menghadap sungai, dan tempat MCK ada di sepanjang sungai.  Jadilah perjalanan seolah sedang menginspeksi MCK berikut kegiatannya.... Akhirnya kami sampai ke ujung pulau.  Dan ternyata, sungai di balik pulau jauh lebih lebar daripada bagian yang menghadap daratan.  Makin ke hilir makin lebar saja.  Kalau diperkirakan mungkin selebar 3km-an, bahkan lebih.  Kapal-kapal besar leluasa lalu lalang.  Kapal pengangkut CPO saja ada dua bersandar, sedang menunggu diisi dari kilang-kilang pinggir sungai.  Di kejauhan bukit-bukit merah terkelupas, diambil dan diangkut tanah-tanahnya ke Jepang.  Bauksit katanya, tapi apakah sebodoh itu kalau hanya mengambil bauksit?  Berapa biaya angkut dan olahnya kalau sekedar bauksit?  Dan tiap hari ratusan bahkan ton diangkut menggunakan tongkang-tongkang raksasa.
Makin lama sungai makin lebar lagi... menyuguhkan pemandangan seperti laut.  Matahari yang hendak terbenam mengeluarkan warna-warna yang indah..  sunset di sungai...
Menjelang maghrib boat diputar balik, kembali ke Tayan dengan menyusuri arah sebaliknya, melalui belakang pulau.  Di seberang masih nampak kerimbunan hutan.  Kapal-kapal pengangkut kayu yang sudah terpotong nampak di kejauhan.  Di sisi dekat boat yang kami naiki, untaian kayu gelondongan yang sangat panjang ditarik dua kapal.  Entah berapa hektar kalau kayu-kayu itu diberdirikan kembali. 
Di salah satu ujung pulau, nampak kapal-kapal “kargo”, kalau truk mungkin seperti truk kontainer, namun modifikasi dari kapal pinisi. Itulah kapal “Bandung”, kapal yang mengangkut barang-barang kebutuhan dari Pontianak.  Persis seperti kehidupan jalanan di Pantura dengan truk-truknya, namun ini berdimensi sungai.
Perjalanan susur Kapuas ini berakhir di kedai ikan dan udang bakar.  Entah sampai kapan Tayan hidup dengan perahu-perahunya, karena saat ini sedang dibangun jembatan yang menghubungkan dua daratan yang terpisah sungai ini, dengan pulau Tayan sebagai tiangnya.  Mungkin kehidupan air bergeser menjadi kehidupan darat setelah ada jembatan kelak, menghapus berbagai keunikan yang telah beratus tahun ada.