12 Juli 2010
Kota Tobelo
Tobelo, pertama mendengar namanya bagi telinga saya yang sehari-hari mendengar bahas Sunda, agak lucu saja. Sengaja saya minta Ismi, seorang staf TRUE yang gesit, untuk membeli peta Indonesia terbaru. Tidak puas rasanya hanya browsing di Internet dan melihat di Google Earth. Setelah peta dibentangkan dan ditempel di dinding kantor, memang terlihat nyata, betapa jauhnya dari Bogor. Betapa luasnya Indonesia tercinta ini. Hati makin penasaran, seperti apa keadaan kota dan masyarakatnya di gugusan kepulauan ujung utara negeri ini.
Kota Tobelo cukup ramai, kendaraan dalam kota didominasi Bentor, modifikasi motor jenis bebek, yang bagian stang depan diganti dengan kabin mirip becak. Persis yang pernah saya jumpai di Kota Gorontalo. Namun bedanya, di Tobelo lebih tertib dalam hal administrasi. Semua bentor memiliki nomor registrasi dari dinas perhubungan setempat. Sedangkan jeni angkot seperti di Bogor, melayani trayek yang cukup jauh. Mungkin kalau di Bogor trayek seperti itu akan dilayani bus ¾ atau minimal L-300. Sedangkan jarak jauh lagi ada Mobil-mobil “sofifi” yang terdiri dari aneka merek dan jenis. Jadi masyarakat di sini tidak usah memiliki kendaraan keluaran terakhir yang cukup mahal, cukup jadi penumpang “sofifi” saja, dan kita bebas mau pilih jenis mobil sekehendak hati kita.
Tidak lengkap mengunjungi suatu kota tanpa merasakan makanannya. Dan tentu saja, hal ini yang paling saya suka. Berhubung kota pantai, pasti pilihan makanan laut yang paling pas.
Hari pertama kedatangan sebelum masuk hotel, kami mampir ke rumah makan. Namun yang menghidangkan aneka ikan laut agak kurang banyak dijumpai. Setelah berkeliling, ada juga. Lucunya yang berjualan kelihatannya dari Madura. Tidak mengapa, toh ikannya dari Halmahera juga.
Mulailah petualangan kuliner hari pertama. Kepiting goreng, Udang mentega, Ikan Bakar dan Goreng, serta Kangkung Cah. Minumnya Es Jeruk. Ketika pesanan datang, ternyata kepitingnya besar sekali. Satu ekor (kepiting kan tidak berekor??) bisa dimakan beberapa orang. Ikan bakar dan goreng masih mirip-mirip kita jumpai di belahan Sulawesi Utara, yaitu dihidangkan dengan sambal “dabu-dabu”, yaitu irisan tomat hijau, cabe rawit dan bawang merah. Bedanya dengan di Gorontalo, dabu-dabu di sini memakai kemangi dan jeruk yang sangat terasa asamnya. Kalau di Gorontalo rasanya lebih asin gurih.
Cukup banyak juga kita makan, mengingat dari pagi di Manado belum terisi nasi. Hanya sambil menunggu jemputan saya sempat memesan mie instan di Bandara Kao, dengan ditemani sepotong ayam goreng dari restoran cepat saji AW (kita sebut inisalnya saja, eh… salah, memang begitu namanya) di Soekarno Hatta. Jadi sang ayam goreng ikut terbang ke Manado, lalu terbang lagi ke Halmahera, dan mengahiri nasibnya di sana.
Setelah makan, kami tiba di penginapan. Villahermosa, di jalan Parahyangan. Tempat baru kelihatannya. Cukup sederhana, namun bersih, dan berusaha menyenangkan tamunya. Namun lucunya, di sisa tanah halaman, ditanami kacang tanah, jagung, pepaya dan beraneka bunga yang membawa kesan tahun 70-an seperti mawar dan kerabatnya. Untuk menjaga stamina akibat pergeseran waktu, tidak banyak yang kami kerjakan selain tidur.
Malam hari, saat waktu makan malam, kami bersama panitia lokal diajak ke tempat makan ikan lagi. Namun sebelum hidangan utama jadi, pengunjung disuguhi singkong rebus yang katanya direbus dengan santan. Rasanya sungguh sangat enak, manis seperti kue, namun masih berbentuk singkong seutuhnya. Baru kali ini saya menikmati singkong rebus seperti ini… dan semua menyukainya. Hanya kesadaran akan datangnya ikan goreng saja yang menghentikan keinginan memamah singkong ini.
Ikan bakar utuh per orang, cukup membuat kenyang. Bagaimana cara menghabiskannya, sudah bukan konteks laporan perjalanan sepertinya…
Setelah puas makan, kami berkeliling. Yang pertama ingin kami lihat ialah seperti apa pusat pemerintahannya. Kabupaten Halmahera Utara ini cukup luas, sehingga masyarakat di sana, pejabat khsusnya, merasa memerlukan kantor yang mewah. Kantor Bupati kalau tidak bisa disebut istana, sangat megah berdiri, katanya baru setahun dipakai. Bentuknya mirip-mirip Pentagon, mungkin arsiteknya terinspirasi dari sana. Dengan luas sekitar 7 hektar, jadilah miniatur Pentagon. Haruskah kita bangga atau miris, mengingat umumnya masyarakat di pedalaman yang sangat sederhana….
Sudahlah, kita pun susah untuk merubahnya, lebih baik kita kembali ke niat semula, yaitu merubah yang jauh lebih besar, merubah peradaban, yang kita yakini harus dimulai dari guru-guru di Indonesia. Hal ini juga yang kadang-kadang menjadi tertawaan dan cibiran beberapa orang-orang. Tapi, seiring waktu, ternyata kita temukan komunitas yang satu visi dengan kami dan akhirnya gerakan tersebut makin menggulir, dan pada saat ini membawa kami ke ujung pulau Halmahera.
Tidak salah Jendral Mc Arthur membuat pilihan di kepulauan Morotai, demikian pula armada Jepang. Karena lokasinya sangat strategis, menghadapi samudra Pasifik dan terlindung dan terkamuflase oleh pulau-pulau dan gunung-gunung. Sebuah pertahanan alamai yang kokoh, namun mendiaminya serasa di di taman firdaus. Mungkin begitulah kira-kira perasaan para tentara sekutu waktu perang dunia kedua. Morotai dari Tobelo bisa ditempuh dengan speedboat. Di perairan yang memisahkan Halmahera dengan Morotai, konon terdapat banyak sekali bangkai kapal Jepang yang karam, akibat serangan pihak sekutu. Dan sekarang, oleh sebagian pengrajin, besi-besi berkualitas eks kapal dijadikan perhiasan dan kerajinan khas Halmahera, dikenal dengan kerajinan besi putihnya. Walaupun di kota Tobelo terdapat penjual kerajinan besi putih, dalam hati kecil saya ingin sekali menyebrang ke Morotai. Mungkin suatu saat……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar