Merauke, kota tertimur Indonesia.
Dari Sabang sampai Merauke menjajar pulau-pulau.... Sepenggal bait itulah yang langsung terngiang di telinga. Akhirnya sampai juga saya di Merauke. Kota yang selalu saya ingin kunjungi.
Sejak kecil saya senang mengamati peta Indonesia. Hampir seluruh kota dan bandara saya hafal. Hingga ketika SD saya dilarang menjawab pertanyaan saat pelajaran IPS. Hal ini bagi saya merupakan keasyikan sekali menikmati dan mengamati negeri ini. Tentu saja dengan Merauke, kota yang dikenal seluruh bangsa Indonesia. Apalagi ketika Garin Nugroho membuat serial kisah anak 1.000 pulau, yang salah satunya menceritakan kehidupan di Taman Nasional Wasur. Makin menjadi saja keingintahuan saya mengenai kota ini.
Merauke menyambut saya dengan guyuran hujan. Bandara Mopah masih di bawah pengelolaan pemda, belum angkasa pura. Sehingga tidak jelas tanggungjawab siapa ketika hujan besar. Siapa yang menjemput penumpang sesaat setelah keluar dari tangga pesawat. Ternyata pihak Merpati mencarter mobil-mobil sewaan, silih berganti mengangkut penumpang ke gedung utama.
Suasana bandara cukup ramai. Bagasi mulai masuk ke baggage conveyor, tapi konveyor disana hanyalah sepanjang 2 meter saja. Selanjutnya roda-roda silinder besi yang berderet membentuk huruf U yang menghubungkan konveyor 1 dan konveyor 2. Selepas dari konveyor otomatis barang harus didorong diatas silinder besi tadi. Jadilah barang-barang dari konveyor 1 beradu dengan barang yang keluar dari konveyor 2 dari penerbangan yang berbeda. Barang yang beradu ditaruh di tengah bagian dalam. Maka, saling berlompatlah para porter menyebrang jalur konveyor....
Penerbangan lanjutan ke Boven Digoel baru bisa keesokan harinya. Saya masih punya sehari untuk keliling Merauke. Mulailah tour d’Merauke. Diawali melintas jembatan sungai Maru, jembatan yang 3x lebih panjang dari jembatan Kapuas.
Perjalanan dilanjutkan ke Tanah Miring. Daerah transmigrasi legendaris. Orang-orang Jawa sejak dulu sudah berhijrah disana. Termasuk Benni Moerdani pun ternyata diterjunkan disana waktu pembebasan Irian Barat. Tugunya yang sama sekali tidak mirip sang Jenderal pun saya kunjungi. Namun dari kisah penerjunan Irian Barat yang saya baca, ternyata suasana jauh berbeda. Di daerah ini sudah jauh dari hutan. Pemukiman sudah berkembang. Penjual cilok hilir mudik, namun cilok dari Jatim, bukan Bandung. Tugu ini sekitar 45 menit naik kendaraan dari Merauke.
Para pemukim dari Jawa sudah berkembang. Usaha dan pertanian cukup baik. Warung-warung jagung bakar, kelapa dan minuman berderet. Sehingga wilayah transmigran merupakan salah satu tujuan wisata warga Merauke. Tujuan wisata lain adalah TN Wasur. TN Wasur terkenal dengan rumah semutnya yang disebut Mosamos.
Rumah semut setinggi 2 meter lebih bermunculan di semak-semak. Namun, pemandangan yang indah seperti di film Garin tidak saya jumpai. Hamparan padang rumput luas dengan kangguru dan rusa berlarian tidak saya lihat. Mungkin di bagian lain, atau memang belum diskenariokan ya...
Suasana kota Merauke yang panas di siang hari cukup sepi. Di sana umumnya toko-toko tutup di siang hari, dan sore hari kembali buka. Seperti Bandung tahun 70-an saja. Tapi memang berjalan-jalan siang hari cukup menyiksa. Sinar matahari sangat terik. Apalagi matahari sedang berada di garis selatan. Akhirnya saya kembali di dalam kamar berpendingin udara di Hotel Marin. Nama hotel yang berasal dari nama satu suku di Merauke.
23012011
rumah semut, sebenarnya bukanlah semut, namun rayap, informasi selengkapnya http://b0cah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=693&Itemid=40
BalasHapussemoga bermanfaat