13 Juli 2010
TRUE merasuk ke pedalaman Halmahera
Mobil “Sofifi” yang dipesan sehari sebelumnya agar menjemput jam 7 pagi, tentu saja dalam WIT ternyata tidak datang. Belakangan saya mengerti mengapa ia ingkar janji. Walaupun tidak mengerti mengapa ia tidak menjawab saja tidak bisa… Urusan jam 7 pagi pun agak membuat linglung. Hal ini karena jam otak saya masih merasakan bahwa saat ini masih jam 5 pagi, di Bogor tentunya. Jadi dengan susah payah, 3 alarm HP disetel agar berbunyi jam 4.30 WIT.
Setelah mandi dan aktivitas pendukungnya, kami siap menunggu jemputan. Sambil menikmati nasi kuning khas Tobelo, yang saya tahu sebelumnya di internet, kami mengobrol di ruang terbuka pelataran penginapan yang sekaligus menjadi ruang makan terbuka. Sinar matahari sudah menghangatkan, bahkan memanaskan. Padahal masih jam 7 pagi.
Hingga jam 8, mobil tidak datang. Akhirnya diganti dengan mobil ”Sofifi” lain jenis Toyota Yaris. Kelak mobil ini kita tahu ternyata tidak cocok untuk mengantar kami. Bukannya tidak merasa nyaman naik sedan baru, namun kasihan melihat sopir dan mobilnya yang kerap kali terantuk batu atau terperosok kubangan air.
Akhirnya semua siap berangkat. Kami terbagi dua kendaraan, saya memilih kijang karena memang tiada duanya. Jalanan yang ditempuh mulus-mulus saja awalnya, maklum menuju kota Kao, tempat kami mendarat sehari sebelumnya. Setelah menempuh sekitar 40 menit, mobil belok kanan. Tampak jalan berkerikil dan berpasir di hadapan kita, diapit pohon-pohon kelapa yang menjulang. Beberapa menit kemudian, kami serasa mengikuti rally gurun pasir dengan efek debu dibelakang kendaraan masing-masing. Lepas dari jalanan yang rata dan lurus, mulailah petualangan yang mendebarkan. Mobil pertama, mengalami terperosok kubangan hingga 2 kali dan memaksa penumpangnya untuk turun dan mendorong. Jalanan selanjutnya turun naik, dengan kondisi rusak berat. Kami melewati banyak jembatan yang hanya pas untuk ukuran truk sedang. Namun yang istimewa, jembatan tersebut terbuat dari kayu atau batang pohon kelapa. Sehingga, pengemudi harus sigap menapakkan roda di atas permukaan batang kelapa. Dan itu tidak hanya satu, mungkin lebih dari 5 jembatan seperti itu. Di lokasi lain, pohon besar menghalangi jalan, namun sebagian tepinya masih bisa diterobos kendaraan.
Makin kedalam jalan makin masuk ke hutan. Pohon cukup rapat, diselingi dengan bambu dan pohon-pohon berukuran sedang. Kemudian kembali perkebunan kelapa mendominasi. Beberapa keluarga petani kelapa sedang mengasapi daging buah kelapa di atas para-para, dan diasapi oleh bakaran sabut dan batok kelapa. Mereka membuat bahan mentah kopra. Tiba-tiba ada perkampungan cukup besar di jalan yang kami lewati. Rumah-rumah kayu, dengan anjing dan babi berkeliaran. Ibu-ibu menggendong “Soloi”, sejenis ransel yang terbuat dari daun dan pelepah kelapa, membentuk sedikit tabung yang mengerucut. Berjalan beriringan, entah keman. Pemandangan lainnya setelah kembali masuk ke hutan adalah hamparan sawah. Cukup luas, dan mengisyaratkan pengelolanya bukan pribumi. Memang benar, kami memasuki wilayah transmigrasi.
Memang, desa transmigrasi tampak lebih makmur. Di sini pula terdapat satu-satunya SMA, masih swasta namun guru-gurunya sudah PNS. Sekolahnya berhalaman sangat luas. Disinilah rupanya tempat TRUE akan membagi pengalamannya.
Guru-guru sudah nampak berkumpul. Dihalaman yang luas itu hanya ada satu pohon yang cukup besar. Pohon awir-awir. Motor berjejer mengambil keteduhannya. Kami segera bergegas menurunkan barang. Sambil mempersiapkan peralatan, acara dibuka secara resmi oleh perwakilan dari Dinas Pendidikan, dengan formal tentunya.
Setelah itu, barulah dengan kekhasan metoda pelatihannya, baik dari seting ruang dan pelayanan lain, para guru-guru diajak ke dunia baru pembelajaran yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar