Menuju Kab. Sanggau (1)
Kalimantan, pulau yang sangat luas. Tempat bergabungnya tiga negara. Sudah sejak dulu saya ingin menginjakkan kaki ke pedalaman pulau ini. Banyak cerita keindahan hutan dan budaya suku Dayaknya, tentang lebarnya sungai-sungai yang membelah pulau ini, serta kehidupan masyarakatnya yang pasti menarik untuk dikenali.
Alhamdulillah, bulan September ini malah sekaligus dua kali saya berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Kalimantan Barat, di awal bulan dan di penutup bulan....
Awal September, bersamaan dengan minggu terakhir bulan Ramadhan, saya bersama Pa Agus, Pa Erfan dan Kang Luthfi berkesempatan mengunjungi Kab. Sanggau. Tentu saja sebelumnya saya mencari referensi apa dan bagaimana daerah tersebut kepada Mbah Google. Kota yang nyaman, dengan sungai Kapuasnya... Hmm.. kelihatannya tidak terlalu “terpencil” untuk ukuran kota di pedalaman, ATM dan internet sebagai patokan tingkat keterpencilan.
Di Bandara bergabung dengan Bu Susana yang akan mengawal sampai lokasi dan Mba Erni yang kelak akan bermain sulap-sulapan.... Check in normal-normal saja. Cuaca cerah, penerbangan on time, lancar. Hidangan yang menggugah selera ditawarkan oleh para pramugari. Berhubung puasa, Garuda menyediakan hidangan yang dapat dibawa pulang, berikut bonus kantong kreseknya... Lumayan buat buka di perjalanan nanti.
Hari masih pagi di saat mendarat di Bandara Supadio Pontianak. Tapi, cahaya matahari sudah tidak memberi ampun bagi para pelancong seperti kami. Untunglah jemputan sudah menanti. Sambil menunggu keberangkatan, penjaja jeruk menawarkan dagangannya ke para penumpang mobil. 2 buah jeruk bali makin memenuhi ruang Kijang Innova kami. Bagasi sudah tidak muat, hingga kursi belakang terpaksa menjadi bagasi tambahan. Itupun diisi saya dan Kang Luthfi, ditambah 2 buah jeruk bali yang membuat kaki makin sempit. Karena terbayang kesegaran dan rasanya saja, sang buah jeruk rela diberi tempat. Seandainya kelak tahu rasanya, lebih baik ditinggal di parkiran bandara saja, sayang, kami tahu rasanya ketika sudah hendak kembali pulang.....
Kami senang apabila bepergian bersama “ibu-ibu”, biasanya naluri keibuannya, terutama dalam hal logistik, akan muncul. Hasilnya, kami mampir di Ayani Megamall, mall cukup besar di Pontianak, namun pengunjungnya masih relatif sepi untuk ukuran di Jabotabek. Sambil menunggu pasokan logistik, kami numpang ngadem di mall itu, sambil cuci mata, hitung-hitung menguji tingkat keimanan berpuasa.... Cara menguji yang salah dan kacau.
Perjalanan ke Sanggau, konon bisa 7-8 jam. Namun sekarang bisa dihemat hanya sekitar 3 jam saja. Jalan tembus yang masih dikerjakan memotong setengah jarak. Dari 200km lebih, menjadi sekitar 100km-an saja. Sudah bisa ditebak, pasti jalanan akan menembus hutan. Memang benar, namun hutan yang saya bayangkan dengan kayu-kayu besar ternyata tidak ada sedikitpun. Tinggalah hutan berisi pohon-pohon dengan ukuran sedang, kalau tidak mau disebut kecil. Itu pun berada sekitar 2-3 km di kiri kanan jalan, selebihnya sudah gundul. Walaupun demikian, banyak lorong-lorong ke pedalaman hutan yang pasti itu lorong pengambilan kayu. Karena gelondongan kayu-kayu menumpuk di mulut lorong-lorong tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat miskin disekitar hutan. Misikn sekarang, atau miskin nanti, sama-sama miskin. Bedanya, nanti bakal lebih miskin saat hutan sudah tiada.
Jalan yang ditempuh cukup mulus. Pemandangan kiri kanan selain hutan-hutanan tadi, juga beberpa pemukiman trans yang sekarang diisi oleh penduduk lokal. Tidak ada perubahan ekonomi, malah terkesan makin payah. Rumah-rumah kayu khas trans Kalimantan sudah makin tua berlumut. Walau demikian, antena parabola menghiasai di beberapa gubug tersebut.
Sejam perjalanan, kami dijumpakan dengan jalan yang masih aduhai. Cuma 30km saja kok, kata sopir. Cuma... dalam hati. Jalan memang sudah terbuka, namun masih dalam tahap pengerjaan, masih tanah dan batu. Walaupun demikian, jalur ini cukup hidup dan ramai. Bis-bis ¾, truk dan motor hilir mudik menembus debu saat panas, dan melenggak-lenggok saat hujan turun. Untunglah kami melewatinya saat panas. Namun tidak akan lama lagi rupanya jalan tersebut akan selesai. Kontraktor nasional yang mengerjakannya, rasanya mustahil kalau tidak dapat menyelesaikannya. Sepanjang perjalanan berdebu tersebut, saya lebih bisa mengamati keadaan sekitar. Parit-parit berair hitam dari hutan mengalir sepanjang jalan. Walaupun kaya air, namun air untuk dikonsumsi sangatlah sedikit. Beberpa penjaja rebung dan sarang semut menyimpan dagangannya di meja-meja ala kadarnya di pinggir jalan. Namun para pedagangnya entah kemana. Ada beberapa gubuk yang berisi meja bilyard... hhmm... moderenisasi yang salah kaprah.
Setelah diajrut-ajrut sekitar sejam, jalan mulus terhampar lagi. Dan perjalanan lebih bisa dinikmati. Walau pemandangan cukup monoton, yaitu hutan yang sudah rusak, saya coba menikmatinya. Sambil membayangkan seandainya harus hidup disana, ilmu dan pengetahuan yang dimiliki sekarang masih sulit menunjang, apalagi tenaga.. betapa bodoh dan lemahnya diriku...
Memasuki kota (kita sebut demikian saja) Batang Tarang, sang sopir langsung mencari seseorang dari organisasi yang mengundang kami. Rupanya sopir ini sudah sering dicarter oleh mereka. Setelah bertemu, kami langsung diantar ke penginapan terbaik, dan satu-satunya... Rupanya kami tidak ke Sanggau, namun memang tujuannya Batang Tarang, memang masih kabupaten Sanggau.
Kendaraan masuk ke jalan yang agak becek dan berlubang. Ada pasar dan terminal yang tidak pernah terpakai di sebelah kiri kami, setelah itu di kanan dan kiri berjejer ruko-ruko sederhana. Yang menandakan tempat ini kota adalah gedung BRI saja beserta logo ATMnya. Walaupun mesin ATM belum terpasang.
Di seberang BRI mobil parkir. Ketika dijelaskan tempat menginap kami disini, kami semua saling berpandang. Karena memang tidak ada hotel disini. Jalanan berdebu, demikian pula jajaran ruko tersebut. Di antara ruko-ruko, ada terselip lorong gelap yang kumuh, dengan mesin genset rusak dan tumpukan botol-botol dalam karung. Di atas pintu lorong tertulis, Penginapan Karista.......
Menarik Lih. Idem. Sugan teh saya ajah yang ingin bertandang ke pulau Kalimantan teh. Pingin menikmati indahnya hutan belantara dan sejuknya udara full oksigen dari bermilyar2 pohon2 di hutan tropis. Eh... ternyata setelah kesampaian...geuning kecewa. Sepanjang Balikpapan-Samarinda-Tenggarong bahkan sampai pedalaman Kalimantan Timur -Kota Bangun- pun, angger leuweung geledeugan teh teu aya. Bahkan ketika kukurusukan mencari beberapa titik mata air di lereng Gunung Tinjauan, sebuah tempat di pedalaman Kab Kutai Kartanegara. Teu aya, Lih, leuweung geledeungan teh. Sababara kali pulang anting saya ka ditu, angger teu nimu tah leuweung.
BalasHapus"Meureun mun di Kalimantan Barat atau Tengah mah teu kieu. Meureun di ditu mah masih aya keneh leuweung nu saenyana leuweung." Abdi teh mepende pikirin sorangan.
Eh...geuning tos maca tulisan kalih ieu. Ah sami wae di Kaltim dan di Kalbar. Leuweung teh can kapendak ku urang. Mugi2 pedah urang teu kukurusukan sa eunyana kukurusukan janten teu nimu eta leuweung teh. Tapi lamun enya bener si leuweung tropis nu aya di Kalimantan teh sudah semuanya seperti yang kita lihat, kumaha nya?
batang tarang is the best
BalasHapus