Cari Blog Ini

Minggu, 10 Oktober 2010

Batang Tarang - Sanggau

Batang Tarang (2)


Rupanya memang tujuan kami adalah Batang Tarang.  Hal ini kurang tersosialisasi sehingga saya menyangka kegiatan akan dilakukan di kota Sanggau, sekitar 80-km dari sini.  Saat itu cuaca panas berdebu, namun menyisakan genangan-genangan air di jalanan “utama” yang penuh lubang.  Toko-toko berderet, sementara beberapa warung berada di parkiran beberapa ruko.  Warung sederhana, yang menunggu pembeli yang tidak pasti.  Hidangan pembuka puasa, seperti kolak, ada pada satu warung.  Lainnya seperti sate ayam, jeruk... dan mungkin saat itu hanya itu.  Bangku-bangku panjang di sepanjang “trotoar” mempersilahkan orang-orang yang ingin beristirahat dari teriknya sinar matahari.  Seorang nenek, yang awalnya kami kira keturunan Cina, tampak asyik menyiapkan ritual makan sirihnya.  Belakangan saya tahu bahwa ia orang Dayak.  Suasana kota yang sangat tidak ramai.


Diseberang penginapan terdapat  pasar kota.  Untuk ukuran kecamatan, pasar termasuk lengkap dan ramai.  Di bagian dalam, di meja-meja, beraneka ragam sayuran dan barang-barang layaknya di Jawa.  Di meja bagian ikan segar, tampak ikan besar-besar. Ikan Toman, dan berbagai ikan dan udang dari sungai Kapuas, sangat menggugah selera untuk segera mempraktekan resep-resep Sisca Suditomo dan Rudi Choeruddin, dan diakhiri dengan ucapan Maknyoos-nya pak Bondan pastinya.  Sayang saat itu bulan Puasa.  Jadi fenomena perkulineran belum teruji benar.  Di deretan daging di sayap timur, itulah tempat penjual daging babi.  Untuk ukuran pasar sebesar itu, penjual daging babi sangat banyak.  Mungkin pembelinya dari daerah lain atau pedalaman.... Di pelataran pasar, ada beberapa penjual pakis dan daun hutan.  Suku Dayak berbekal Terigay, sejenis keranjang yang digendong, datang dari pedalaman.  Seikat daun pakis yang beraneka warna mereka jual Rp 1000,-


Di sebelah penginapan, terhalang dua ruko, terdapat rumah makan, kedai-lah lebih cocok.  Hari itu semua karyawannya sudah diliburkan karena menjelang lebaran.  Namun demikian, berkat pendekatan pengundang kami, serta sejatinya kemurahan pemilik kedai, maka untuk urusan sahur dan buka menjadi sangat dimanjakan.  Pak Burhan, demikian pemilik, sekaligus koki, pelayan, dan perias pengantin.. lha?  Saya berkesimpulan karena di dalam ruko tersebut terdapat lemari berisi gaun pengantin dan tulisan menerima rias pengantin.  Apalagi kepiawaian Pa Burhan dalam memasak dan sedikit nuansa pink dimana-mana, makin menyimpulkan bahwa Pa Burhan ini multi talenta.  Sebuah foto ukuran besar dengan dua anaknya yang berwisuda menghiasai dinding ruangan.  Hanya sampai saya pulang, beluk mengetahui siapa istri beliau... karena di fotonya pun tidak ada.
Pelayanannya sungguh prima, kalau kami saat makan membicarakan udang, pasti saat hidangan berikutnya terhidang udang.  Kalau kami bicara gulai ikan, pasti nanti terhidang gulai ikan.  Masakan yang dibuat dengan hati, sangat lezat di lidah dan nyaman dinikmati.  Selain itu, jam 2 pagi beliau sudah membuka pintunya, dan hidangan sudah siap.  Pak Burhan inilah yang turut andil menjaga stamina kami saat di Batang Tarang.  Walaupun pelayanannya bintang 5, tapi ada juga pikiran untuk mencoba hidangan lain, sekaligus menjajal tempat wisata dan kuliner lain.  Oleh karena itu, untuk menjaga perasaan Pa Burhan, kami izin tidak berbuka di kedai-nya, mungkin malam saja kalau kami lapar.  Saat itu kami berwisata ke Tayan, kota pantai sungai Kapuas.  Tentu dengan memanjakan perut.  Udang galah dan ikan bakar berpindah tempat dari pembakaran ke dalam lambung.  Namun hidangan penutup sedikit mengecewakan.  Juice sawo yang dipesan... sawonya masih muda, sehingga seret dan sepat di tenggorokan.
Ketika kembali di penginapan, ternyata Pa Burhan telah menyiapkan hidangannya.  Untuk menjaga perasaannya, Kang Luthfi lah yang diutus sebagai jubir, diplomasi, agar hidangannya untuk sahur saja.  Sambil menemani Kang Luthfi, saya mengintip tudung saji.  Saat itu Kang Luthfi bilang, “Pak, apakah ini bisa disimpan untuk sahur?” Namun jawabannya ternyata kalau untuk sahur sudah disiapkan mentahnya di kulkas.  Jadilah saya kemudian mencicipi udang-udang gemuk di meja.  Dan semua teman dipanggil untuk bertanggung jawab bersama.  Ternyata pertanggungjawaban yang sangat lezat.  Jadilah kami malam itu tidur dengan perut sangat penuh....


Penginapan tempat saya menginap sangat pengap.  Hanya tersedia kipas angin, tidak berjendela, dan kamar mandi bersama.  Untuk 6 kamar yang ada, kami pakai 4 kamar, tersedia 2 kamar mandi dengan jam keran air terbatas.  Penerangan sangat terbatas, kalau tidak dikatakan gelap gulita.  Saat kami masuk, listrik sedang mati.  Ada emergency lamp mini yang cahayanya sangat hemat.  Ruangan yang saya rasa selalu berdebu makin temaram dengan cat biru gelap.  Pihak pengundang sampai terbengong-bengong.  Mereka mengkhawatirkan kami atas pelayanannya.  Sungguh buat kami tidak apa-apa, pengalaman baru yang seru saja.  Saya dan Pa Agus di kamar terbaik., yang tidak berjendela tadi, disebut terbaik karena paling luas, double bed.  Minus pelayanan dan breakfast.  Jadi kami harus sapu-sapu, beli lilin dan perbekalan sendiri.
Hal lucu lain ialah ketika tengah malam, terdengar kegaduhan suara truk-truk.  Setelah itu suara para sopir dan kernetnya membangunkan pengelola penginapan.  Keesokan harinya saya baru tahu, bahwa penginapan yang saya pakai ternyata penginapan bagi para sopir truk pembawa karet dari daerah yang agak jauh.  Harga karet di daerah ini lebih baik, karena ada tauke yang siap menampung dan akan membawanya ke Malaysia.  Pantesan penginapan pengap dan rada-rada apek, rupanya aroma dari karet yang diangkut truk-truk itu.......



Tidak ada komentar:

Posting Komentar