14 Juli 2010
Hati-Aksi-Berarti
Alhamdulillah Luar biasa Allahuakbar! Demikian biasanya anak-anak didik kita jika ditanya kabarnya. Demikian pula jawaban yang sama untuk menggambarkan perjalanan TRUE hari ini.
Petualangan dimulai dari malam sebelumnya. Setelah semalamnya diguyur hujan lebat, kota Tobelo dan sekitarnya cukup sejuk. Padahal sore harinya cuaca sangat panas. Malam itu kami memilih menu masakan Padang. Letak rumah makan di pusat kota, dekat pasar dan mulut jalan menuju pelabuhan. Kebetulan hari itu, sebuah kapal induk AS sedang merapat, tepatnya menepi, karena memang ia membuang sauh 1 mil dari pantai. Kunjungan kapal tersebut sekaligus mengadakan pengobatan cuma-cuma. Memang dua hari ini, helikopter-helikopter dari kapal induk tersebut terbang melewati penginapan tempat kami tinggal.
Setelah makan, kami berjalan menuju pelabuhan. Dengan gaya meyakinkan, rombongan turis amatir yang berjumlah 6 orang dengan tanpa hambatan lolos masuk pelabuhan. Padahal orang-orang dikutip sejumlah uang untuk dapat masuk. Bukan untuk ditiru, namun memang karena tidak aturannya yang jelas terbaca. Ternyata di pelabuhan tidak tampak kapal induk tersebut, karena terhalang kapal-kapal yang bersandar. Pinisi yang mengangkut barang, serta kapal penumpang dari Manado yang datang tiap hari Selasa, dan akan berangkat kembali hari Kamis. Kapal tersebut menutupi pandangan mata kami. Tiba-tiba tetesan hujan turun. Inilah hujan pertama kami di Halmahera. Akhirnya diputuskan untuk menaiki bentor terdekat. Untunglah, karena beberapa menit kemudian, air bagai ditumpahkan dari langit. Sepanjang malam itu hujan turun deras. Dalam hati, semoga tidak membasahi jalan yang akan kami lewati ke Kao.
Pagi hari, jemputan kendaraan Toyota Kijang dan Yaris yang kemarin sudah ada. Saya memilih di Kijang lagi, karena memang tiada duanya…. basi ya! Sampai setengah perjalanan kendaraan melaju tanpa hambatan. Namun memasuki jalan hutan, petualangan hari ini baru dimulai.
Jalanan disebagian becek sisa guyuran semalam. Jika hari kemarinnya Yaris yang terjebak hingga harus di dorong, ditempat yang sama giliran sang Kijang yang terperosok. Setelah berbagai upaya dilakukan, termasuk melibatkan orang-orang yang kebetulan lewat, akhirnya kami menyerah. Biarlah menunggu truk yang mungkin akan datang dan akan diminta sedikit tenaganya untuk melepaskan jeratan kubangan. Namun masalahnya, kami berjanji kepada guru-guru di pedalaman akan datang pukul 9 pagi. Akhirnya diputuskan, Pak Andri dan Pak Okwan untuk pergi terlebih dahulu, sekaligus mengisi acara pagi. Tinggalah saya dan Kang Lutfhi ditemani panitia penyelenggara menunggu ditengah-tengah ladang pribumi. Beberapa yang lewat memberikan perhatian tanpa bisa berbuat apa-apa.
Truk yang ditunggu tidak kunjung tiba. Namun akhirnya dari kejauhan tampak bis ¾ Damri datang menuju kami dari arah yang berlawanan. Damri ini bagai kapal perintis yang mengunjungi pulau-pulau di Indonesia Timur. Damri melayani trayek Tobelo ke pedalaman Kao melalui jalan yang tidak berpihak kepada rakyat. Syukurlah masih ada Djawatan Motor Repoeblik Indonesia ini, karena bisa setia melayani masyarakat pedalaman dan para transmigran yang menetap jauh lebih dalam lagi, lebih bersyukur lagi karena seluruh penumpang dan pengemudi Damri membantu mendorong mobil kami yang terperosok itu.
Tiba di tempat pelatihan, dua orang anggota Tim sudah memulai, walaupun tetap kami terlambat, namun kami datang kembali.
Daerah tempat pelatihan merupakan daerah transmigran. Jadi cukup banyak orang Jawa disini. Mesjid tempat kami sholat pun berada di tengah-tengah pemukiman. Sayang, para transmigran yang tinggal disini belum berhasil sepenuhnya. Hal ini disebabkan hama yang selalu menyerang sawah mereka. Dari 3-4 kali tanam pasti satu kali gagal total. Sehingga mereka hanya cukup untuk bertahan hidup selama setahun itu saja. Padahal daerah ini cukup subur, air tanah dan sungai ada di sini.
Tetapi semangat para guru-guru di sini cukup luar biasa. Ternyata mereka datang cukup jauh juga, ada yang belasan km dari lokasi pelatihan. Itu yang membuat kami lebih semangat lagi. Dan semangat itu ternyata menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan…. Termasuk yang kami alami sore itu.
Seperti biasa, selesai acara kami pulang beriringan. Yaris di depan, mengingat kondisi mobil yang rendah, yang memungkinkan terjadinya hambatan lebih besar di jalanan khusus jip itu. Ternyata hari kedua kami ke lokasi, jembatan kayu banyak yang bergeser. Jumlah jembatan ternyata ada 18 buah, dimana 14 diantaranya adalah jembatan darurat. Ini juga meralat pernyataan saya di tulisan yang lalu tentang jumlah jembatan.
Di salah satu jembatan, mobil yang kami naiki terpeleset. Seharusnya melalui permukaan gelondong kayu. Oleh karena itu, posisi mobil “nyangkut” di jembatan. Didorong tidak bisa, ditarik tidak bisa. Akhirnya sang dongkrak turun tangan. Mendongkrak di tengah jembatan darurat merupakan tantangan tersendiri, karena tidak ada pijakan yang kuat dan stabil bagi sang dongkrak. Namun berkat semangat tadi, “special stage” bisa dilalui dengan belepotan tentunya… Belum lagi berjalan 10 menit, mobil yang saya naiki kembali mengulang hal yang sama. Padahal kemarin lancar-lancar saja. Kembali sang dongkrak yang berjasa. “Special stage” ini pun bisa dilalui dengan belepotan dan cucuran keringat. Setelah lolos, boleh dong kami bercanda kembali. Ketika ada iring-iringan gerobak sapi yang dikendalikan anak-anak suku pedalaman, kami hentikan, sekedar untuk ikut nampang dan juga mencoba mengendalikan sapi. Dengan bergaya masing-masing mengambil foto. Sedangkan sang anak bersama adiknya terbengong-bengong melihat kelakuan orang asing.
Di Halmahera ini masih terdapat suku-suku di pedalaman yang masih terisolir, baik dari kehidupan sosial normal maupun kehidupan ekonomi. Mereka cukup memanen hasil ladang seperti pisang, yang menjadi makanan pokoknya juga, kelapa, nanas dan sekaligus mencari kayu bakar. Hidup subsisten, dan anak-anak mereka tidak bersekolah. Banyak anak-anak di desa yang kami lewati memiliki tipikal rambut ikal namun pirang. Bukan tandanya indo atau mode cat rambut, tapi jelas akibat gizi buruk. Bisa dibayangkan kan (kan2) bagaimana kondisi anak-anak suku pedalaman itu? Mereka jauh lebih nampak kekurangan gizi, namun kegembiraan soal lain.
Roda gerobak yang ditarik sapi itu bergerak perlahan, seolah mengingatkan kepada kami, buat apa kalian orang kota harus terburu-buru dalam segala hal. Tanah yang subur, alam yang indah, memang harus apalagi orang perbuat, selain berlama-lama menikmatinya…..
Kendaraan kembali berlanjut. Selepas jembatan yang entah kesekian, tiba-tiba… cceessss….. ban belakang kanan mobil yang saya naiki kempes. Untunglah ban cadangan tersedia. Untuk urusan mengganti ban sih, dengan kolaborasi dua orang saja bisa selesai. Dongkrang sudah dipasang dan mengangkat sebagian bodi mobil. Nah sekarang, mana kunci roda? Cukup lama juga mencari kunci roda. Akhirnya ada juga, terselip di bawah jok. Singkat kata, baju Persib (beda lagi dengan yang dulu, yang ini putih) sudah tidak karuan baunya… kalau warna tetep..putih biru. Jangankan orang lain, diri sendiri aja cukup terganggu dengan aromanya. Jangankan beraktivitas berat, diam saja di sini keringat sudah keluar sendiri. Mungkin begitu caranya orang sini sehat-sehat, karena belum berolahragapun keringat sudah bercucuran.
Demikianlah, akhir perjuangan hari itu. Oya, saat mobil sampai, ban cadangan pun akhirnya kempes. Sedangkan cerita tengah malam saat kami membongkar ikan bersambal dabu-dabu yanglezat , kiranya kurang patut diceritakan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar