16 Juli 2010
Ternate, kesultanan tertua di Nusantara
Jam 12.30 WIT speedboat yang kami tumpangi merapat di pelabuhan Ternate. Sudah ada yang siap menjemput kami. Memang LSM yang mengontrak kami memiliki jaringan dan loyalitas tinggi terhadap sesamanya. Kami ditempatkan di Surya Pagi Hotel, di jalan Stadion. Memang terlihat empat menara lampu sorot yang berdiri di pojok lapangan sepak bola. Sayang, Persib tidak bertanding disini…
Sampai hotel saya tertidur pulas, pasti yang lainnya juga. Bahkan suaranya sudah lebih dulu bergetar… Tidak banyak yang bisa diceritakan di hotel ini, selain ruangannya yang penuh meubel. Lemari, meja rias, meja kerja…. sempit deh.. Kalau di Tobelo ada hal yang lucu. Rekan kami yang dari LSM Pusat bercerita, bahwa ia terbangun tengah malam. Ada seekor ketam (walau ngga ada ekornya ya) yang berjalan-jalan di dahinya. Pas kebangun, kedua-duanya (baik orang maupun ekor) kaget. Ketam terdiam. Dia terdiam. Akhirnya diam-diaman… Ngga, bukan begitu ceritanya. Saking kaget, refleks sang ketam dikibaskan dan jatuh di seprei. Karena tidak bergerak, ketam dikibaskan lagi hingga jatuh ke lantai. Rupanya sang ketam kaget juga. Rekan ini baru sadar dari tidurnya, ia pandangi ketam sambil tentu heran, bagaimana ketam bisa bebas berjalan di dahinya (saya terbayang beliau sedang terheran-heran). Kedua makhluk Tuhan itu saling berpandangan, dan ketika sang rekan menggerakkan anggota badanya, sang ketam langsung lari terpinggir-pinggir (saya susah cari padanan kata lari terbirit-birit untuk ketam, karena larinya miring). Sang ketam masuk ke kolong pintu, dan rupanya disitulah sabab musababnya, bukan ketam kiriman, mejik atau sihir.
Pagi hari seorang tukang koran sudah menwarkan harian Malut Post ke kamar. Headline berita tentang arah kiblat yang keliru, Korupsi di Ternate, dan berubahnya wanita menjadi pria. Serta tentu saja ada berita mirip artis yang ditaruh di halaman muka. Yang lucu di halaman dalam ada iklan terapi alat vital tanah Pasundan Ma Olot, bukan Ma Erot. Sebagi orang Pasundan tentu merasa lucu saja, kalau bangga sih, memang membanggakan apa? Membanggakan bahwa orang sunda.. wwkkk…wk…..
Lepas dari urusan Ma Olot, kita kembali ke laptop. Sementara teman yang lain cari tiket, saya tidak mau kehilangan momen Ternate. Pagi-pagi sudah keluar dan jalan sambil mencari sarapan. Selain itu ingin melihat panorama yang indah. Kami berjalan sambil memandangi gunung Gamalama yang gagah. Mirip gunung Gede dari arah Cianjur. Tapi sama sekali tidak menggambarkan sang Dorce Gamalama, yang harus merujuk kemana.
Masih teringat akan keinginan dalam hati untuk mengunjungi wilayah perairan Ternate Tidore sejak uang pecahan Rp 1000 kertas beredar. Di gambar belakang tampak gunung Tidore dan Maitara. Apalagi beberpa bulan yang lalu. Nah, kebetulan saya sedang disini, maka tidak akan disia-siakan kesempatan ini. Setelah tanya sana sini, akhirnya kami sewa ojek. Disini tidak ada Blue Bird Group, jadinya ojek saja… selain tata cara penggunaan dan aturan keselamatannya sudah berlaku universal di Indonesia, biayanya pun tidak usah pake kurs valas. Jadilah kami beriringan ke pantai Florida. Nama yang terlalu asing bagi seubah kesultanan. DI Florida terdapat rumah makan, yang teras belakangnya memberikan pemandangan indah seperti dalam gambar uang seribuan itu.
Sambil menunggu pesanan makanan, puaslah kami berfoto-foto ria. Gunung Tidore di belakang yang lebih besar, dan Maitara dibelakangnya. Gugusan gunung berapi yang menjadi pulau ini, sekaligus menjadikannya kesultanan-kesultanan. Ada sultan Tidore, sultan Bacang, dan sultan di pulau gunung lainnya. Letak rumah makan itu di pinggir tebing, jadi pemandangan belakang langsung jatuh ke laut di bawahnya. Dasar karang sangat jelas terlihat. Air biru cemerlang. Di kejauhan speedboat berkecepatan tinggi membawa penumpang dari Maitara ke Ternate. Sambil menikmati garuka, sejenis wedang jahe dengan irisan kacang kenari yang hangat dan manis, mata dipuaskan oleh pemandangan alama yang luar biasa. Setelah puas difoto dan tentu saja hidangannya yang lezat, kami meneruskan perjalanan keliling kota. Kedaton Kesultanan Ternate.
Sebetulnya hari Jumat sebelum jumatan tidak terima tamu. Namun berkat pendekatan kang Luthfi, sebagai pewaris ilmu komunitas masyarakat ala almarhum Pa Baihaqi, kami bisa masuk dan berfoto-foto ria. Istana mirip istana Maemun di Medan, demikian pula perlengkapan dan peninggalan sejarahnya. Dari atas teras istana, terbentang laut dengan ujung pulau Halmahera di kejauhan, gunung Tidore dan Maitara di kanan. Di kanan bawah, Mesjid Kesultanan dengan atapnya yang bertingkat-tingkat. Di Ternate ini mudah sekali dijumpai mesjid, kebalikannya dengan Tobelo. Mesjidnya besar-besar, tapi saya lebih suka memandangi yang masih asli peninggalan jaman dulu.
Peninggalan kerjaan termasuk kitab-kitab khusus raja masih tersimpan. Senjata, tongkat dan perlengkapan lain masih terawat. Kesultanan Islam tertua di Nusantara, lebih tua dari Samudra Pasai. Demikian cerita abdi dalem kedaton. Sultan pertama dalam silsilah tertanda tahun 1200an masehi. Konon, para pen-siar Islam dari Jazirah Arab hendak berlabuh di Ternate, namun mereka mendengar suara azan dan kemudian mereka membatalkan misinya dan berlayar kembali ke arah negeri Tiongkok, baru kemudian ke Aceh.
Setelah puas di Kedaton, perjalanan dilanjutkan. Ada beberpa benteng pertahanan Belanda di sini. Termasuk benteng Kalamata yang kami lewati, dan masih terdapat beberapa benteng di Ternate ini termasuk peninggalan portugis. Betapa seriusnya bangsa-bangsa Barat ini ingin memiliki nusantara ini. Di Kedaton pun ada gambar kedatangan pasukan Spanyol. Jadi di Ternate ini berkumpul finalis-finalis Piala Dunia Sepak Bola. Ketika saya sampaikan itu, abdi dalem terbahak-bahak.
Di tengah perjalan, sms datang dari rekan yang mengusahakan tiket. Hari ini kami tidak berhasil mendapat tiket, semua penerbangan penuh. Besok masih ada penerbangan pagi Batavia jam 8 WIT, jadi jam 5.30 pagi kami harus sudah berangkat dari hotel. Oleh karena itu perjalanan keliling diteruskan. Tidak lengkap rasanya kalau tidak membawa kuliner khas. Bukti kita datang dari suatu daerah, toh? Ini logat sini, bung. Apalagi untuk mertua tercinta. Sayang pesanan kacang mete di sini tidak ada. Mungkin kalau ke Sulawesi akan saya carikan, bunda.
Di Ternate makanan khas kue sagu, bagi yang tidak terbisa akan sedikit seret di tenggorokan. -Mana yang benar, tenggorokan atau kerongkongan? – Selain itu ada terdapat kue kenari dan roti kenari, mirip bagelen yang diolesi saus kenari. Lucunya yang jualan orang jawa. Dan kue-kue ini yang bikin masyarakat turunan arab. Toko yang kecil itu cukup ramai. Letaknya menghadap pelabuhan Pelni. Terparkir di seberang Avanza dengan leter F, Bogor. Ternyata adiknya penjual kue dinas di Bogor dan baru 3 bulan pindah ke Ternate. Setelah puas belanja, kami kembali ke hotel untuk siap sholat Jumat. Waktu Zuhur sekitar jam 1 WIT.
Jumaatan disini sama saja dengan di Bogor yang melakukan 2 kali adzan. Jamaah pun sama, terkantuk-kantuk… nah yang ini sih mungkin saya saja, jangan disamakan dan ditiru ya. Setelah jumatan sampai sore full istirahat. Body is not delicious. Meriang gejala masuk angin, benar-benar masuk angin, bayangkan mulut terperangah melihat keindahan alam tengah malam di atas atap speedboat. Walaupun tidak sepanjang perlautan (bukan perjalanan, tidak ada jalan kan?), tapi cukup lama juga beradu angin…. Untunglah Tim Delta selalu menyiapkan P3K yang lengkap, mungkin apabila ditambah pisau bedah, boleh jadi cukup untuk melakukan sunatan aja sih. Sambil menunggu efek doping, saya mencari warnet terdekat.
Sore hari kami berjalan-jalan ke pantai pelabuhan. Nampak bersandar kapal penumpang Pelni Sinabung, yang akan berlayar ke Jawa juga. Katanya hingga Semarang. Barangkali 4-5 hari baru sampai. Di deretan pedagang-pedagang tenda yang didominasi gaya lamonganan, yaitu ayam goreng, bakar dan sate, ada terselip tahu Sumedang. Sudah lama juga tidak mempraktekkan bahasa kebangsaan saya di Ternate ini kepada orang lain.
Potongan ayam goreng sangat besar, mungkin kalau dibagi 2 saja masih cukup. Ketika saya tanya dari mana ayam-ayam ini, ternyata khusus didatangkan dari Surabaya menggunakan kontainer. Pantas saja ada puluhan warung tenda yang sama. Berikut kecap-kecapnya pun cap Pasuruan. Ketika saya singgung kok semua disini Persela? Denga bangga, termasuk mbak-mbak menjawab, saat tim Persela main disini penonton di stadion penuh sekali. Saat itu bersamaan dengan gunung Gamalama meletus. Dan ketika saya tanya dimana ada pedagang Persib, mereka menunjuk kios hijau penjual tahu Sumedang… Wah, kalah jumlah nih.
Suasana jajanan hampir tidak ada bedanya dengan kota besar lain. Martabak, Ketoprak, Gerobak (yang terakhir bukan….gguubbrraakkss!), dan lain-lain memenuhi sudut kota dekat pelabuhan itu. Di sisi lainnya berdiri megah mesjid Raya Ternate yang masih dalam tahap pembangunan. Mesjid megah ini sebagian menjorok ke laut. Jadi apabila shalat di sayap kiri, maka pemandangan laut akan sangat indah. Kiri laut dengan ujung Halmahera, samar-samar bangunan putih di atas bukit, itulah gedung gubernurnya. Kiri depan Gunung Tidore yang indah dan pulau Maitaranya. Tapi yang dikanan juga tak kalah indah, Gunung Gamalama muncul di atas deretan bangunan ruko-ruko. Untuk jamaah yang duduk di depan, jelas sekali mimbar dan khotib. Walaupun tidak terlihat pemandangan, namun nilai shaff depanlah bagi mereka.
Itulah sekilas kota Ternate. Waktu yang hanya sehari tidak cukup untuk mengeksplorasinya. Tapi, apabila terlalu lama pun mungkin tidak perlu. Karena keliling pulau hanya sekitar 45 km-an saja. Ada danau yang indah di gunung Gamalama, itu yang belum saya kunjungi, mungkin suatu saat berkesempatan.