Cari Blog Ini

Minggu, 10 Oktober 2010

Batang Tarang - Sanggau

Batang Tarang (2)


Rupanya memang tujuan kami adalah Batang Tarang.  Hal ini kurang tersosialisasi sehingga saya menyangka kegiatan akan dilakukan di kota Sanggau, sekitar 80-km dari sini.  Saat itu cuaca panas berdebu, namun menyisakan genangan-genangan air di jalanan “utama” yang penuh lubang.  Toko-toko berderet, sementara beberapa warung berada di parkiran beberapa ruko.  Warung sederhana, yang menunggu pembeli yang tidak pasti.  Hidangan pembuka puasa, seperti kolak, ada pada satu warung.  Lainnya seperti sate ayam, jeruk... dan mungkin saat itu hanya itu.  Bangku-bangku panjang di sepanjang “trotoar” mempersilahkan orang-orang yang ingin beristirahat dari teriknya sinar matahari.  Seorang nenek, yang awalnya kami kira keturunan Cina, tampak asyik menyiapkan ritual makan sirihnya.  Belakangan saya tahu bahwa ia orang Dayak.  Suasana kota yang sangat tidak ramai.


Diseberang penginapan terdapat  pasar kota.  Untuk ukuran kecamatan, pasar termasuk lengkap dan ramai.  Di bagian dalam, di meja-meja, beraneka ragam sayuran dan barang-barang layaknya di Jawa.  Di meja bagian ikan segar, tampak ikan besar-besar. Ikan Toman, dan berbagai ikan dan udang dari sungai Kapuas, sangat menggugah selera untuk segera mempraktekan resep-resep Sisca Suditomo dan Rudi Choeruddin, dan diakhiri dengan ucapan Maknyoos-nya pak Bondan pastinya.  Sayang saat itu bulan Puasa.  Jadi fenomena perkulineran belum teruji benar.  Di deretan daging di sayap timur, itulah tempat penjual daging babi.  Untuk ukuran pasar sebesar itu, penjual daging babi sangat banyak.  Mungkin pembelinya dari daerah lain atau pedalaman.... Di pelataran pasar, ada beberapa penjual pakis dan daun hutan.  Suku Dayak berbekal Terigay, sejenis keranjang yang digendong, datang dari pedalaman.  Seikat daun pakis yang beraneka warna mereka jual Rp 1000,-


Di sebelah penginapan, terhalang dua ruko, terdapat rumah makan, kedai-lah lebih cocok.  Hari itu semua karyawannya sudah diliburkan karena menjelang lebaran.  Namun demikian, berkat pendekatan pengundang kami, serta sejatinya kemurahan pemilik kedai, maka untuk urusan sahur dan buka menjadi sangat dimanjakan.  Pak Burhan, demikian pemilik, sekaligus koki, pelayan, dan perias pengantin.. lha?  Saya berkesimpulan karena di dalam ruko tersebut terdapat lemari berisi gaun pengantin dan tulisan menerima rias pengantin.  Apalagi kepiawaian Pa Burhan dalam memasak dan sedikit nuansa pink dimana-mana, makin menyimpulkan bahwa Pa Burhan ini multi talenta.  Sebuah foto ukuran besar dengan dua anaknya yang berwisuda menghiasai dinding ruangan.  Hanya sampai saya pulang, beluk mengetahui siapa istri beliau... karena di fotonya pun tidak ada.
Pelayanannya sungguh prima, kalau kami saat makan membicarakan udang, pasti saat hidangan berikutnya terhidang udang.  Kalau kami bicara gulai ikan, pasti nanti terhidang gulai ikan.  Masakan yang dibuat dengan hati, sangat lezat di lidah dan nyaman dinikmati.  Selain itu, jam 2 pagi beliau sudah membuka pintunya, dan hidangan sudah siap.  Pak Burhan inilah yang turut andil menjaga stamina kami saat di Batang Tarang.  Walaupun pelayanannya bintang 5, tapi ada juga pikiran untuk mencoba hidangan lain, sekaligus menjajal tempat wisata dan kuliner lain.  Oleh karena itu, untuk menjaga perasaan Pa Burhan, kami izin tidak berbuka di kedai-nya, mungkin malam saja kalau kami lapar.  Saat itu kami berwisata ke Tayan, kota pantai sungai Kapuas.  Tentu dengan memanjakan perut.  Udang galah dan ikan bakar berpindah tempat dari pembakaran ke dalam lambung.  Namun hidangan penutup sedikit mengecewakan.  Juice sawo yang dipesan... sawonya masih muda, sehingga seret dan sepat di tenggorokan.
Ketika kembali di penginapan, ternyata Pa Burhan telah menyiapkan hidangannya.  Untuk menjaga perasaannya, Kang Luthfi lah yang diutus sebagai jubir, diplomasi, agar hidangannya untuk sahur saja.  Sambil menemani Kang Luthfi, saya mengintip tudung saji.  Saat itu Kang Luthfi bilang, “Pak, apakah ini bisa disimpan untuk sahur?” Namun jawabannya ternyata kalau untuk sahur sudah disiapkan mentahnya di kulkas.  Jadilah saya kemudian mencicipi udang-udang gemuk di meja.  Dan semua teman dipanggil untuk bertanggung jawab bersama.  Ternyata pertanggungjawaban yang sangat lezat.  Jadilah kami malam itu tidur dengan perut sangat penuh....


Penginapan tempat saya menginap sangat pengap.  Hanya tersedia kipas angin, tidak berjendela, dan kamar mandi bersama.  Untuk 6 kamar yang ada, kami pakai 4 kamar, tersedia 2 kamar mandi dengan jam keran air terbatas.  Penerangan sangat terbatas, kalau tidak dikatakan gelap gulita.  Saat kami masuk, listrik sedang mati.  Ada emergency lamp mini yang cahayanya sangat hemat.  Ruangan yang saya rasa selalu berdebu makin temaram dengan cat biru gelap.  Pihak pengundang sampai terbengong-bengong.  Mereka mengkhawatirkan kami atas pelayanannya.  Sungguh buat kami tidak apa-apa, pengalaman baru yang seru saja.  Saya dan Pa Agus di kamar terbaik., yang tidak berjendela tadi, disebut terbaik karena paling luas, double bed.  Minus pelayanan dan breakfast.  Jadi kami harus sapu-sapu, beli lilin dan perbekalan sendiri.
Hal lucu lain ialah ketika tengah malam, terdengar kegaduhan suara truk-truk.  Setelah itu suara para sopir dan kernetnya membangunkan pengelola penginapan.  Keesokan harinya saya baru tahu, bahwa penginapan yang saya pakai ternyata penginapan bagi para sopir truk pembawa karet dari daerah yang agak jauh.  Harga karet di daerah ini lebih baik, karena ada tauke yang siap menampung dan akan membawanya ke Malaysia.  Pantesan penginapan pengap dan rada-rada apek, rupanya aroma dari karet yang diangkut truk-truk itu.......



Episode Kalimantan Barat

Menuju Kab. Sanggau (1)

Kalimantan, pulau yang sangat luas.  Tempat bergabungnya tiga negara.  Sudah sejak dulu saya ingin menginjakkan kaki ke pedalaman pulau ini.  Banyak cerita keindahan hutan dan budaya suku Dayaknya, tentang lebarnya sungai-sungai yang membelah pulau ini, serta kehidupan masyarakatnya yang pasti menarik untuk dikenali.
Alhamdulillah, bulan September ini malah sekaligus dua kali saya berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Kalimantan Barat, di awal bulan dan di penutup bulan....



Awal September, bersamaan dengan minggu terakhir bulan Ramadhan, saya bersama Pa Agus, Pa Erfan dan Kang Luthfi berkesempatan mengunjungi Kab. Sanggau.  Tentu saja sebelumnya saya mencari referensi apa dan bagaimana daerah tersebut kepada Mbah Google.  Kota yang nyaman, dengan sungai Kapuasnya... Hmm.. kelihatannya tidak terlalu “terpencil” untuk ukuran kota di pedalaman, ATM dan internet sebagai patokan tingkat keterpencilan.
Di Bandara bergabung dengan Bu Susana yang akan mengawal sampai lokasi dan Mba Erni yang kelak akan bermain sulap-sulapan....  Check in normal-normal saja.  Cuaca cerah, penerbangan on time, lancar.  Hidangan yang menggugah selera ditawarkan oleh para pramugari.  Berhubung puasa, Garuda menyediakan hidangan yang dapat dibawa pulang, berikut bonus kantong kreseknya...  Lumayan buat buka di perjalanan nanti.
Hari masih pagi di saat mendarat di Bandara Supadio Pontianak.  Tapi, cahaya matahari sudah tidak memberi ampun bagi para pelancong seperti kami.  Untunglah jemputan sudah menanti.  Sambil menunggu keberangkatan, penjaja jeruk menawarkan dagangannya ke para penumpang mobil.  2 buah jeruk bali makin memenuhi ruang Kijang Innova kami.  Bagasi sudah tidak muat, hingga kursi belakang terpaksa menjadi bagasi tambahan.  Itupun diisi saya dan Kang Luthfi, ditambah 2 buah jeruk bali yang membuat kaki makin sempit.  Karena terbayang kesegaran dan rasanya saja, sang buah jeruk rela diberi tempat.  Seandainya kelak tahu rasanya, lebih baik ditinggal di parkiran bandara saja, sayang, kami tahu rasanya ketika sudah hendak kembali pulang.....
Kami senang apabila bepergian bersama “ibu-ibu”, biasanya naluri keibuannya, terutama dalam hal logistik, akan muncul.  Hasilnya, kami mampir di Ayani Megamall, mall cukup besar di Pontianak, namun pengunjungnya masih relatif sepi untuk ukuran di Jabotabek.  Sambil menunggu pasokan logistik, kami numpang ngadem di mall itu, sambil cuci mata, hitung-hitung menguji tingkat keimanan berpuasa.... Cara menguji yang salah dan kacau.
Perjalanan ke Sanggau, konon bisa 7-8 jam.  Namun sekarang bisa dihemat hanya sekitar 3 jam saja.  Jalan tembus yang masih dikerjakan memotong setengah jarak.  Dari 200km lebih, menjadi sekitar 100km-an saja.  Sudah bisa ditebak, pasti jalanan akan menembus hutan.  Memang benar, namun hutan yang saya bayangkan dengan kayu-kayu besar ternyata tidak ada sedikitpun.  Tinggalah hutan berisi pohon-pohon dengan ukuran sedang, kalau tidak mau disebut kecil.  Itu pun berada sekitar 2-3 km di kiri kanan jalan, selebihnya sudah gundul.  Walaupun demikian, banyak lorong-lorong ke pedalaman hutan yang pasti itu lorong pengambilan kayu.  Karena gelondongan kayu-kayu menumpuk di mulut lorong-lorong tersebut.  Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat miskin disekitar hutan.  Misikn sekarang, atau miskin nanti, sama-sama miskin.  Bedanya, nanti bakal lebih miskin saat hutan sudah tiada.
Jalan yang ditempuh cukup mulus.  Pemandangan kiri kanan selain hutan-hutanan tadi, juga beberpa pemukiman trans yang sekarang diisi oleh penduduk lokal.  Tidak ada perubahan ekonomi, malah terkesan makin payah.  Rumah-rumah kayu khas trans Kalimantan sudah makin tua berlumut.  Walau demikian, antena parabola menghiasai di beberapa gubug tersebut.
Sejam perjalanan, kami dijumpakan dengan jalan yang masih aduhai.  Cuma 30km saja kok, kata sopir.  Cuma... dalam hati.  Jalan memang sudah terbuka, namun masih dalam tahap pengerjaan, masih tanah dan batu.  Walaupun demikian, jalur ini cukup hidup dan ramai.  Bis-bis ¾, truk dan motor hilir mudik menembus debu saat panas, dan melenggak-lenggok saat hujan turun.  Untunglah kami melewatinya saat panas.  Namun tidak akan lama lagi rupanya jalan tersebut akan selesai.  Kontraktor nasional yang mengerjakannya, rasanya mustahil kalau tidak dapat menyelesaikannya.  Sepanjang perjalanan berdebu tersebut, saya lebih bisa mengamati keadaan sekitar.  Parit-parit berair hitam dari hutan mengalir sepanjang jalan.  Walaupun kaya air, namun air untuk dikonsumsi sangatlah sedikit.  Beberpa penjaja rebung dan sarang semut menyimpan dagangannya di meja-meja ala kadarnya di pinggir jalan.  Namun para pedagangnya entah kemana.  Ada beberapa gubuk yang berisi meja bilyard... hhmm... moderenisasi yang salah kaprah.
Setelah diajrut-ajrut sekitar sejam, jalan mulus terhampar lagi.  Dan perjalanan lebih bisa dinikmati.  Walau pemandangan cukup monoton, yaitu hutan yang sudah rusak, saya coba menikmatinya.  Sambil membayangkan seandainya harus hidup disana, ilmu dan pengetahuan yang dimiliki sekarang masih sulit menunjang, apalagi tenaga.. betapa bodoh dan lemahnya diriku...
Memasuki kota (kita sebut demikian saja) Batang Tarang, sang sopir langsung mencari seseorang dari organisasi yang mengundang kami.  Rupanya sopir ini sudah sering dicarter oleh mereka.  Setelah bertemu, kami langsung diantar ke penginapan terbaik, dan satu-satunya...  Rupanya kami tidak ke Sanggau, namun memang tujuannya Batang Tarang, memang masih kabupaten Sanggau.
Kendaraan masuk ke jalan yang agak becek dan berlubang.  Ada pasar dan terminal yang tidak pernah terpakai di sebelah kiri kami, setelah itu di kanan dan kiri berjejer ruko-ruko sederhana.  Yang menandakan tempat ini kota adalah gedung BRI saja beserta logo ATMnya.  Walaupun mesin ATM belum terpasang.
Di seberang BRI mobil parkir.  Ketika dijelaskan tempat menginap kami disini, kami semua saling berpandang.  Karena memang tidak ada hotel disini.  Jalanan berdebu, demikian pula jajaran ruko tersebut.  Di antara ruko-ruko, ada terselip lorong gelap yang kumuh, dengan mesin genset rusak dan tumpukan botol-botol dalam karung.  Di atas pintu lorong tertulis, Penginapan Karista.......


Kamis, 07 Oktober 2010

Ternate, Kesultanan Tertua di Nusantara

16 Juli 2010
Ternate, kesultanan tertua di Nusantara
Jam 12.30 WIT speedboat yang kami tumpangi merapat di pelabuhan Ternate.  Sudah ada yang siap menjemput kami.  Memang LSM yang mengontrak kami memiliki jaringan dan loyalitas tinggi terhadap sesamanya.  Kami ditempatkan di Surya Pagi Hotel, di jalan Stadion.  Memang terlihat empat menara lampu sorot yang berdiri di pojok lapangan sepak bola.  Sayang, Persib tidak bertanding disini…



Sampai hotel saya tertidur pulas, pasti yang lainnya juga.  Bahkan suaranya sudah lebih dulu bergetar…  Tidak banyak yang bisa diceritakan di hotel ini, selain ruangannya yang penuh meubel.  Lemari, meja rias, meja kerja…. sempit deh..  Kalau di Tobelo ada hal yang lucu.  Rekan kami yang dari LSM Pusat bercerita, bahwa ia terbangun tengah malam.  Ada seekor ketam (walau ngga ada ekornya ya) yang berjalan-jalan di dahinya.  Pas kebangun, kedua-duanya (baik orang maupun ekor) kaget.  Ketam terdiam. Dia terdiam.  Akhirnya diam-diaman… Ngga, bukan begitu ceritanya.  Saking kaget, refleks sang ketam dikibaskan dan jatuh di seprei.  Karena tidak bergerak, ketam dikibaskan lagi hingga jatuh ke lantai.  Rupanya sang ketam kaget juga.  Rekan ini baru sadar dari tidurnya, ia pandangi ketam sambil tentu heran, bagaimana ketam bisa bebas berjalan di dahinya (saya terbayang beliau sedang terheran-heran).  Kedua makhluk Tuhan itu saling berpandangan, dan ketika sang rekan menggerakkan anggota badanya, sang ketam langsung lari terpinggir-pinggir (saya susah cari padanan kata lari terbirit-birit untuk ketam, karena larinya miring).  Sang ketam masuk ke kolong pintu, dan rupanya disitulah sabab musababnya, bukan ketam kiriman, mejik atau sihir.
Pagi hari seorang tukang koran sudah menwarkan harian Malut Post ke kamar.  Headline berita tentang arah kiblat yang keliru, Korupsi di Ternate, dan berubahnya wanita menjadi pria.  Serta tentu saja ada berita mirip artis yang ditaruh di halaman muka.  Yang lucu di halaman dalam ada iklan terapi alat vital tanah Pasundan Ma Olot, bukan Ma Erot.  Sebagi orang Pasundan tentu merasa lucu saja, kalau bangga sih, memang membanggakan apa?  Membanggakan  bahwa orang sunda.. wwkkk…wk…..
Lepas dari urusan Ma Olot, kita kembali ke laptop.  Sementara teman yang lain cari tiket, saya tidak mau kehilangan momen Ternate.  Pagi-pagi sudah keluar dan jalan sambil mencari sarapan.  Selain itu ingin melihat panorama yang indah.  Kami berjalan sambil memandangi gunung Gamalama yang gagah.  Mirip gunung Gede dari arah Cianjur.  Tapi sama sekali tidak menggambarkan sang Dorce Gamalama, yang harus merujuk kemana.
Masih teringat akan keinginan dalam hati untuk mengunjungi wilayah perairan Ternate Tidore sejak uang pecahan Rp 1000 kertas beredar.  Di gambar belakang tampak gunung Tidore dan Maitara.  Apalagi beberpa bulan yang lalu.  Nah, kebetulan saya sedang disini, maka tidak akan disia-siakan kesempatan ini.  Setelah tanya sana sini, akhirnya kami sewa ojek.  Disini tidak ada Blue Bird Group, jadinya ojek saja… selain tata cara penggunaan dan aturan keselamatannya sudah berlaku universal di Indonesia, biayanya pun tidak usah pake kurs valas.  Jadilah kami beriringan ke pantai Florida.  Nama yang terlalu asing bagi seubah kesultanan.  DI Florida terdapat rumah makan, yang teras belakangnya memberikan pemandangan indah seperti dalam gambar uang seribuan itu. 
Sambil menunggu pesanan makanan, puaslah kami berfoto-foto ria.  Gunung Tidore di belakang yang lebih besar, dan Maitara dibelakangnya.  Gugusan gunung berapi yang menjadi pulau ini, sekaligus menjadikannya kesultanan-kesultanan.  Ada sultan Tidore, sultan Bacang, dan sultan di pulau gunung lainnya.  Letak rumah makan itu di pinggir tebing, jadi pemandangan  belakang langsung jatuh ke laut di bawahnya.  Dasar karang sangat jelas terlihat.  Air biru cemerlang.  Di kejauhan speedboat berkecepatan tinggi membawa penumpang dari Maitara ke Ternate.  Sambil menikmati garuka, sejenis wedang jahe dengan irisan kacang kenari yang hangat dan manis, mata dipuaskan oleh pemandangan alama yang luar biasa.  Setelah puas difoto dan tentu saja hidangannya yang lezat, kami meneruskan perjalanan keliling kota.  Kedaton Kesultanan Ternate.
Sebetulnya hari Jumat sebelum jumatan tidak terima tamu.  Namun berkat pendekatan kang Luthfi, sebagai pewaris ilmu komunitas masyarakat ala almarhum Pa Baihaqi, kami bisa masuk dan berfoto-foto ria.  Istana mirip istana Maemun di Medan, demikian pula perlengkapan dan peninggalan sejarahnya.  Dari atas teras istana, terbentang laut dengan ujung pulau Halmahera di kejauhan, gunung Tidore dan Maitara di kanan.  Di kanan bawah, Mesjid Kesultanan dengan atapnya yang bertingkat-tingkat.  Di Ternate ini mudah sekali dijumpai mesjid, kebalikannya dengan Tobelo.  Mesjidnya besar-besar, tapi saya lebih suka memandangi yang masih asli peninggalan jaman dulu.
Peninggalan kerjaan termasuk kitab-kitab khusus raja masih tersimpan.  Senjata, tongkat dan perlengkapan lain masih terawat.  Kesultanan Islam tertua di Nusantara, lebih tua dari Samudra Pasai.  Demikian cerita abdi dalem kedaton.  Sultan pertama dalam silsilah tertanda tahun 1200an masehi.  Konon, para pen-siar Islam dari Jazirah Arab hendak berlabuh di Ternate, namun mereka mendengar suara azan dan kemudian mereka membatalkan misinya dan berlayar kembali ke arah negeri Tiongkok, baru kemudian ke Aceh.
Setelah puas di Kedaton, perjalanan dilanjutkan.  Ada beberpa benteng pertahanan Belanda di sini.  Termasuk benteng Kalamata yang kami lewati, dan masih terdapat beberapa benteng di Ternate ini termasuk peninggalan portugis.  Betapa seriusnya bangsa-bangsa Barat ini ingin memiliki nusantara ini.  Di Kedaton pun ada gambar kedatangan pasukan Spanyol.  Jadi di Ternate ini berkumpul finalis-finalis Piala Dunia Sepak Bola.  Ketika saya sampaikan itu, abdi dalem terbahak-bahak.
Di tengah perjalan, sms datang dari rekan yang mengusahakan tiket.  Hari ini kami tidak berhasil mendapat tiket, semua penerbangan penuh.  Besok masih ada penerbangan pagi Batavia jam 8 WIT, jadi jam 5.30 pagi kami harus sudah berangkat dari hotel.  Oleh karena itu perjalanan keliling diteruskan.  Tidak lengkap rasanya kalau tidak membawa kuliner khas.  Bukti kita datang dari suatu daerah, toh? Ini logat sini, bung.  Apalagi untuk mertua tercinta.  Sayang pesanan kacang mete di sini tidak ada.  Mungkin kalau ke Sulawesi akan saya carikan, bunda.
Di Ternate makanan khas kue sagu, bagi yang tidak terbisa akan sedikit seret di tenggorokan.  -Mana yang benar, tenggorokan atau kerongkongan? – Selain itu ada terdapat kue kenari dan roti kenari, mirip bagelen yang diolesi saus kenari.  Lucunya yang jualan orang jawa.  Dan kue-kue ini yang bikin masyarakat turunan arab.  Toko yang kecil itu cukup ramai.  Letaknya menghadap pelabuhan Pelni.  Terparkir di seberang Avanza dengan leter F, Bogor.  Ternyata adiknya penjual kue dinas di Bogor dan baru 3 bulan pindah ke Ternate.  Setelah puas belanja, kami kembali ke hotel untuk siap sholat Jumat.  Waktu Zuhur sekitar jam 1 WIT. 
Jumaatan disini sama saja dengan di Bogor yang melakukan 2 kali adzan.  Jamaah pun sama, terkantuk-kantuk… nah yang ini sih mungkin saya saja, jangan disamakan dan ditiru ya.  Setelah jumatan sampai sore full istirahat.  Body is not delicious.  Meriang gejala masuk angin, benar-benar masuk angin, bayangkan mulut terperangah melihat keindahan alam tengah malam di atas atap speedboat.  Walaupun tidak sepanjang perlautan (bukan perjalanan, tidak ada jalan kan?), tapi cukup lama juga beradu angin….  Untunglah Tim Delta selalu menyiapkan P3K yang lengkap, mungkin apabila ditambah pisau bedah, boleh jadi cukup untuk melakukan sunatan aja sih.  Sambil menunggu efek doping, saya mencari warnet terdekat.
Sore hari kami berjalan-jalan ke pantai pelabuhan.  Nampak bersandar kapal penumpang Pelni Sinabung, yang akan berlayar ke Jawa juga.  Katanya hingga Semarang.  Barangkali 4-5 hari baru sampai.  Di deretan pedagang-pedagang tenda yang didominasi gaya lamonganan, yaitu ayam goreng, bakar dan sate, ada terselip tahu Sumedang.  Sudah lama juga tidak mempraktekkan bahasa kebangsaan saya di Ternate ini kepada orang lain.
Potongan ayam goreng sangat besar, mungkin kalau dibagi 2 saja masih cukup.  Ketika saya tanya dari mana ayam-ayam ini, ternyata khusus didatangkan dari Surabaya menggunakan kontainer.  Pantas saja ada puluhan warung tenda yang sama.  Berikut kecap-kecapnya pun cap Pasuruan.  Ketika saya singgung kok semua disini Persela?  Denga bangga, termasuk mbak-mbak menjawab, saat tim Persela main disini penonton di stadion penuh sekali.  Saat itu bersamaan dengan gunung Gamalama meletus.  Dan ketika saya tanya dimana ada pedagang Persib, mereka menunjuk kios hijau penjual tahu Sumedang… Wah, kalah jumlah nih.
Suasana jajanan hampir tidak ada bedanya dengan kota besar lain.  Martabak, Ketoprak, Gerobak (yang terakhir bukan….gguubbrraakkss!), dan lain-lain memenuhi sudut kota dekat pelabuhan itu.  Di sisi lainnya berdiri megah mesjid Raya Ternate yang masih dalam tahap pembangunan.  Mesjid megah ini sebagian menjorok ke laut.  Jadi apabila shalat di sayap kiri, maka pemandangan laut akan sangat indah.  Kiri laut dengan ujung Halmahera, samar-samar bangunan putih di atas bukit, itulah gedung gubernurnya.  Kiri depan Gunung Tidore yang indah dan pulau Maitaranya.  Tapi yang dikanan juga tak kalah indah, Gunung Gamalama muncul di atas deretan bangunan ruko-ruko.  Untuk jamaah yang duduk di depan, jelas sekali mimbar dan khotib.  Walaupun tidak terlihat pemandangan, namun nilai shaff depanlah bagi mereka.
Itulah sekilas kota Ternate.  Waktu yang hanya sehari tidak cukup untuk mengeksplorasinya.  Tapi, apabila terlalu lama pun mungkin tidak perlu.  Karena keliling pulau hanya sekitar 45 km-an saja.  Ada danau yang indah di gunung Gamalama, itu yang belum saya kunjungi, mungkin suatu saat berkesempatan.

Selamat Tinggal Halmahera.........

15 Juli 2010
Selamat tinggal Halmahera….


Ini hari terakhir petualangan bersama para guru di pedalaman Halmahera, khususnya di Kec. Kao Barat.  Tempat ini belum terbayangkan sebelumnya ada, mungkin dalam mimpipun tidak.  Hari terakhir ini guru-guru sangat bersemangat, karena dua hari sebelumnya telah mendapatkan pencerahan yang lain daripada yang lain.  Kami sangat terharu ketika seorang kepala UPTD berujar, “saya sangat merindukan kembali mengajar di kelas…” tentunya setelah mendapatkan metode-metode unik yang kami berikan.  Mereka berjanji akan menjadi guru-guru yang bersemangat baru, guru sejati.  Syukurlah, apa yang kita sajikan bermanfaat, biar hanya segelintir guru di pedalaman sekalipun.  Perubahan peradaban dimulai dari guru-guru, itulah keyakinan kami.
Hari ini istimewa, selain kami berangkat menggunakan kendaraan “Sofifi” baru, Innova, karena sang kijang diistirahatkan setelah mencetak “hattrick” kemarin.  Juga karena hari ini hanya berkegiatan setengah hari.  Sebab kami besok akan pindah “ngamen” ke kota Galela, sekitar 30 km dari Tobelo, tempat kami menginap.  Jadi sengaja kami percepat, agar ada waktu bagi kami sekedar melepas penat berenang di pantai atau di danau air hangat.  Soalnya jadwal yang padat belum menyempatkan kami mengeksplorasi daerah ini yang terkenal indah.
Mobil “Sofifi” yang baru ini cukup nyaman, sehingga kami bergurau, jangan-jangan semalam jalanan menuju ke Kao Barat sudah dihotmix.  Gurauan yang membikin nyengir sang pemilik kijang.  Mobil “Sofifi” disini memang bagus-bagus.  Jarak 210 km dilayani oleh berbagai jenis kenadaraan.  Jika di Jakarta Innova digunakan untuk level manajer kelas menengah, disini digunakan sebagai pengangkut orang, pisang dan sering menjadi tumpahan rasa sebal seseorang dalam arti sebenar-benarnya.  Tidak hanya Innova, Fortuner pun bernasib sama, mengangkut pisang!
Sehabis penutupan, segera kami pak barang-barang.  Banner, ATK, kabel-kabel dsb., sudah masuk ke dalam tempatnya masing-masing, kemudian disusun di bagasi mobil.  Kemudian makan bersama.  Hidangan kali ini ikan mas bumbu dabu-dabu, ikan tongkol, dan sayur kangkung.  Sederhana memang, tapi kebersamaannya yang luar biasa.  Setelah berpamitan kedua kali, kami langsung berangkat.  Jam menunjukkan pukul 3 WIT.  Semoga kami bisa sempat main di pantai.
Di perjalanan menjelang masuk kota Tobelo yang menyusuri pantai, tampak di kejauhan di balik pulau-pulau yang berserakan, kapal induk Amerika bersembunyi.  Badannya yang putih tinggi besar menyembul di balik pulau.  Ada apa dan maksud apa mereka singgah selain ada pengobatan masal? Kita tidak tahu.  Padahal rumah sakit, puskesma pun sudah banyak.  Buat apa mereka datang mengobati?
Di penginapan langsung kami mandi.  Siap-siap untuk menikmati kota di sore hari.  Tidak lama kemudian HP yang memang jarang berbunyi selama disini,, bergetar.  “Pak Kalih, bisa ke kantor sebelahkah?”  Begitu suara dari seberang.  Memang penginapan kami bersebelahan dengan kantor lembaga yang mengontrak kami.  Lembaga yang memiliki perwakilan hampir di seluruh wilayah di Indonesia.  Ada apa gerangan?  Dalam hati sudah bertanya, bukankah segala urusa admistrasi dll., sudah diurus oleh Tim Delta di Bogor?
Ternyata di kantor kami telah berkumpul perwakilan lembaga tersebut yang datang dari Galela, tempat tujuan berikutnya.  Ada hal yang penting dan genting, hingga mereka menemui kami disini. 
Suasana Galela sedang panas, kendaraan dinas ada yang dibakar.  Penyebabnya urusan sepele, ketidak lolosan bakal calon bupati oleh KPUD.  Rupanya masa pendukungnya tidak terima, dan akan mendemo secara besar-besaran besok hari.  Saya tanyakan apa rekomendasi orang Galelanya sendiri, dan mereka tidak menyarankan kegiatan hari esok.  Apalagi ada kumpul-kumpul guru yang notabene orang pemerintah, yang mereka sasari dan benci.  Bahkan staf dari Galela sudah menghubungi koordinator demonya sehingga sedikit bocoran sudah didapat.  Akhirnya setelah berdiskusi singkat, keselamatan yang utama.  Ini sesuai dengan jargon Selamat-Manfaat-Nikmat kita.  Tim harus kita evakuasi untuk menghindari hal-hal yang mungkin terjadi disini.. Di sini potensi konflik sangat tinggi.  Sisa-sisa cerita ngeri konflik masih terdengar.  Apabila demo benar terjadi dan masuk ke kota Tobelo, dipastikan bandara dan sarana lain lumpuh.  Dan kami akan terjebak untuk waktu yang tidak bisa diduga.
Akhirnya diputuskan, sore ini juga tim harus berangkat ke Ternate, kota yang dipisahkan jarak dan waktu sejauh 210 km + 1 jam penyebrangan menggunakan speedboat atau ferry.  Lembaga yang mengontrak kami tidak mau mengambil resiko apapun terhadap konsultannya.  Saat itu di penginapan Pak Andir da Pak Okwan sudah siap-siap untuk berenang, demikian pula Kang Lutfhi yang sedang bermasalah dengan pencernaannya namun siap pula untuk berendam.  Segera saya kumpulkan pasukan dan membriefing untuk segera mengemas barang dalam tempo 15 menit.  Setelah juga mengirim kabar ke markas komando di Bogor, kami siap berangkat.  Raut kekecewaan yang mendambakan rekreasi pun saya tangkap.  Tapi komando harus dijalankan.
Setelah menyepakati kejadian Forcemajeur dalam perjanjian, dan disepakati akan diselesaikan dengan musyawarah di kantor pusat, jam 6 sore mobil meluncur.  Innova dan Yaris yang sejak pagi masih menjadi pengantar kami.  Kedua orang sopir yang setia mau mengantar kami hingga ke titik penyebrangan.  Dengan imbalan yang pantas tentunya.
Perjalanan yang indah namun dengan perasaan belum siap sepenuhnya untuk menikmati.  Pikiran masih agak kacau dengan rencana yang berubah tiba-tiba.  Namun lama-kelamaan kami nikmati juga.  Jarak perjalanan 210 km cukup mengganggu perasaan.  Karena sebenarnya saya ingin istirahat.  Setiap hari menempuh sekitar 100 km dengan kondisi jalan yang menegangkan, membuat stamina terkuras.  Sudah terbayang jarak sekitar Jakarta-Sumedang yang harus ditempuh malam hari dengan jalan non tol.  Namun, kendaraan yang nyaman dan sopir yang piawai menjadikan saya cukup menikmati perjalanan ini.
Mobil “Sofifi” adalah raja jalanan di sini.  Kecepatan rata-rata 80-100 km per jam.  Biasa bagi pengguna Tol Cipularang atau Jagorawi.  Namun jalanan disini sangat sempit, kira-kira seluas satu baris di jalur jalan tol saja.  Jadi kalau berpapasan akan sangat pas.  Namun urusan papasan, di jalanan sempit tersebut, sopir tidak melambatkan kecepatan, jadi saat berpapasan bisa masing-masing berkecepatan sama.  Serasa naik KRL Pakuan yang berpapasan.  Sepanjang perjalanan sebenarnya disuguhi pemandangan yang sangat indah.  Pantai di sebelah kiri dengan berbagai variasi konturnya.  Namun itu terlihat kalau siang hari.  Malam hari begini memang laut tidak terlihat.  Namun bintang-bintang bertebaran sangat indah.  Bulan sabit di barat yang malu-malu akhirnya sembunyi perlahan di balik bukit-bukit.  Sementara sang sopir memutar lagu Richard Marx yang sayup-sayup terdengar, "wherever you go.. whatever you do..", seolah tahu hati perasaan romantis penumpangnya.  Keindahan alam berpadu dengan kekayaan rasa kalbu, mengingat orang-orang tercinta dan yang mencintai kita.  Hmm… indahnya cinta.
Setelah berhenti di rumah makan, rombongan berhenti keduakalinya di halaman kantor gubernur Halmahera Utara, sudah di Sofifi.  Gedung yang sangat megah, besar dan mewah.  Sekali lagi, cukup ironis bagi sebagian besar warganya yang berambut pirang….  Bagi penggemar Donal Bebek, kira-kira mirip gudang uang Paman Gober, namun digabung dengan Marlinspike Hall-nya Kapten Haddock di kisah Tintin.  Malam hari itu kami memandang kantor dengan perasaan aneh, seolah memandang gedung kasino di Las Vegas…. Dari gedung di atas bukit ini, pulau Ternate, Tidore dan sekitarnya jelas terlihat.  Mengingatkan kepada kantor gubernur Gorontalo yang juga di atas bukit yang pernah kami singgahi.  Seolah ingin menunjukkan kemakmuran pemimpinnya…..
Tidak lama kemudian, sampailah di pelabuhan speedboat.  Setelah tawar menawar, barang dipindahkan dari mobil ke atap speedboat.  Dan kami duduk di bawahnya di ruang yang tidak begitu luas.  Kapasitas kalau penuh mungkin sekitar 25 orang.  Dan tak lama kemudian speedboat melaju kencang, menembus gelapnya laut, menuju gemerlap kota Ternate di seberang sana.  Kang Luthfi yang sedang bermasalah dengan perutnya seolah lupa, dia menclok di ujung depan atap bersama sang juru lampu, seolah ingin lebih dulu menyongsong keindahan dan angin laut.
Bintang gemintang yang cemerlang nampak lebih banyak jumlahnya dan lebih dekat, seolah memayungi kami, dan dihadapan lampu kota tua Ternate, peninggalan kesultanan yang makmur, bagai gelang emas yang mengelilingi gunung Gamalama yang berdiri angkuh.  Tepat jam 23.30 kami berada ditengah laut yang gelap dihembus angin kencang, kami meninggalkan bumi Halmahera yang indah.  Selamat tinggal Halmahera……kami pasti kembali!

Aktivitas di Tobelo

14 Juli 2010
Hati-Aksi-Berarti
Alhamdulillah Luar biasa Allahuakbar! Demikian biasanya anak-anak didik kita jika ditanya kabarnya.  Demikian pula jawaban yang sama untuk menggambarkan perjalanan TRUE hari ini.
Petualangan dimulai dari malam sebelumnya.  Setelah semalamnya diguyur hujan lebat, kota Tobelo dan sekitarnya cukup sejuk.  Padahal sore harinya cuaca sangat panas.  Malam itu kami memilih menu masakan Padang.  Letak rumah makan di pusat kota, dekat pasar dan mulut jalan menuju pelabuhan.  Kebetulan hari itu, sebuah kapal induk AS sedang merapat, tepatnya menepi, karena memang ia membuang sauh 1 mil dari pantai.  Kunjungan kapal tersebut sekaligus mengadakan pengobatan cuma-cuma.  Memang dua hari ini, helikopter-helikopter dari kapal induk tersebut terbang melewati penginapan tempat kami tinggal.

Setelah makan, kami berjalan menuju pelabuhan.  Dengan gaya meyakinkan, rombongan turis amatir yang berjumlah 6 orang dengan tanpa hambatan lolos masuk pelabuhan.  Padahal orang-orang dikutip sejumlah uang untuk dapat masuk.  Bukan untuk ditiru, namun memang karena tidak aturannya yang jelas terbaca.  Ternyata di pelabuhan tidak tampak kapal induk tersebut, karena terhalang kapal-kapal yang bersandar.  Pinisi yang mengangkut barang, serta kapal penumpang dari Manado yang datang tiap hari Selasa, dan akan berangkat kembali hari Kamis.  Kapal tersebut menutupi pandangan mata kami.  Tiba-tiba tetesan hujan turun.  Inilah hujan pertama kami di Halmahera.  Akhirnya diputuskan untuk menaiki bentor terdekat.  Untunglah, karena beberapa menit kemudian, air bagai ditumpahkan dari langit.  Sepanjang malam itu hujan turun deras.  Dalam hati, semoga tidak membasahi jalan yang akan kami lewati ke Kao.
Pagi hari, jemputan kendaraan Toyota Kijang dan Yaris yang kemarin sudah ada.  Saya memilih di Kijang lagi, karena memang tiada duanya…. basi ya!  Sampai setengah perjalanan kendaraan melaju tanpa hambatan.  Namun memasuki jalan hutan, petualangan hari ini baru dimulai. 
Jalanan disebagian becek sisa guyuran semalam.  Jika hari kemarinnya Yaris yang terjebak hingga harus di dorong, ditempat yang sama giliran sang Kijang yang terperosok.  Setelah berbagai upaya dilakukan, termasuk melibatkan orang-orang yang kebetulan lewat, akhirnya kami menyerah.  Biarlah menunggu truk yang mungkin akan datang dan akan diminta sedikit tenaganya untuk melepaskan jeratan kubangan.  Namun masalahnya, kami berjanji kepada guru-guru di pedalaman akan datang pukul 9 pagi.  Akhirnya diputuskan, Pak Andri dan Pak Okwan untuk pergi terlebih dahulu, sekaligus mengisi acara pagi.  Tinggalah saya dan Kang Lutfhi ditemani panitia penyelenggara menunggu ditengah-tengah ladang pribumi.  Beberapa yang lewat memberikan perhatian tanpa bisa berbuat apa-apa.
Truk yang ditunggu tidak kunjung tiba.  Namun akhirnya dari kejauhan tampak bis ¾ Damri datang menuju kami dari arah yang berlawanan.  Damri ini bagai kapal perintis yang mengunjungi pulau-pulau di Indonesia Timur.  Damri melayani trayek Tobelo ke pedalaman Kao melalui jalan yang tidak berpihak kepada rakyat.  Syukurlah masih ada Djawatan Motor Repoeblik Indonesia ini, karena bisa setia melayani masyarakat pedalaman dan para transmigran yang menetap jauh lebih dalam lagi, lebih bersyukur lagi karena seluruh penumpang dan pengemudi Damri membantu mendorong mobil kami yang terperosok itu.
Tiba di tempat pelatihan, dua orang anggota Tim sudah memulai, walaupun tetap kami terlambat, namun kami datang kembali.
Daerah tempat pelatihan merupakan daerah transmigran.  Jadi cukup banyak orang Jawa disini.  Mesjid tempat kami sholat pun berada di tengah-tengah pemukiman.  Sayang, para transmigran yang tinggal disini belum berhasil sepenuhnya.  Hal ini disebabkan hama yang selalu menyerang sawah mereka.  Dari 3-4 kali tanam pasti satu kali gagal total.  Sehingga mereka hanya cukup untuk bertahan hidup selama setahun itu saja.  Padahal daerah ini cukup subur, air tanah dan sungai ada di sini.
Tetapi semangat para guru-guru di sini cukup luar biasa.  Ternyata mereka datang cukup jauh juga, ada yang belasan km dari lokasi pelatihan.  Itu yang membuat kami lebih semangat lagi.  Dan semangat itu ternyata menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan…. Termasuk yang kami alami sore itu.
Seperti biasa, selesai acara kami pulang beriringan.  Yaris di depan, mengingat kondisi mobil yang rendah, yang memungkinkan terjadinya hambatan lebih besar di jalanan khusus jip itu.  Ternyata hari kedua kami ke lokasi, jembatan kayu banyak yang bergeser.  Jumlah jembatan ternyata ada 18 buah, dimana 14 diantaranya adalah jembatan darurat.  Ini juga meralat pernyataan saya di tulisan yang lalu tentang jumlah jembatan.
Di salah satu jembatan, mobil yang kami naiki terpeleset.  Seharusnya melalui permukaan gelondong kayu.  Oleh karena itu, posisi mobil “nyangkut” di jembatan.  Didorong tidak bisa, ditarik tidak bisa.  Akhirnya sang dongkrak turun tangan.  Mendongkrak di tengah jembatan darurat merupakan tantangan tersendiri, karena tidak ada pijakan yang kuat dan stabil bagi sang dongkrak.  Namun berkat semangat tadi, “special stage” bisa dilalui dengan belepotan tentunya…  Belum lagi berjalan 10 menit, mobil yang saya naiki kembali mengulang hal yang sama.  Padahal kemarin lancar-lancar saja.  Kembali sang dongkrak yang berjasa.  “Special stage” ini pun bisa dilalui dengan belepotan dan cucuran keringat.  Setelah lolos, boleh dong kami bercanda kembali.  Ketika ada iring-iringan gerobak sapi yang dikendalikan anak-anak suku pedalaman, kami hentikan, sekedar untuk ikut nampang dan juga mencoba mengendalikan sapi.  Dengan bergaya masing-masing mengambil foto.  Sedangkan sang anak bersama adiknya terbengong-bengong melihat kelakuan orang asing.
Di Halmahera ini masih terdapat suku-suku di pedalaman yang masih terisolir, baik dari kehidupan sosial normal maupun kehidupan ekonomi.  Mereka cukup memanen hasil ladang seperti pisang, yang menjadi makanan pokoknya juga, kelapa, nanas dan sekaligus mencari kayu bakar.  Hidup subsisten, dan anak-anak mereka tidak bersekolah.  Banyak anak-anak di desa yang kami lewati memiliki tipikal rambut ikal namun pirang.  Bukan tandanya indo atau mode cat rambut, tapi jelas akibat gizi buruk.  Bisa dibayangkan kan (kan2) bagaimana kondisi anak-anak suku pedalaman itu?  Mereka jauh lebih nampak kekurangan gizi, namun kegembiraan soal lain.
Roda gerobak yang ditarik sapi itu bergerak perlahan, seolah mengingatkan kepada kami, buat apa kalian orang kota harus terburu-buru dalam segala hal.  Tanah yang subur, alam yang indah, memang harus apalagi orang perbuat, selain berlama-lama menikmatinya…..
Kendaraan kembali berlanjut.  Selepas jembatan yang entah kesekian, tiba-tiba… cceessss….. ban belakang kanan mobil yang saya naiki kempes.  Untunglah ban cadangan tersedia.  Untuk urusan mengganti ban sih, dengan kolaborasi dua orang saja bisa selesai.  Dongkrang sudah dipasang dan mengangkat sebagian bodi mobil.  Nah sekarang, mana kunci roda?  Cukup lama juga mencari kunci roda.  Akhirnya ada juga, terselip di bawah jok.  Singkat kata, baju Persib (beda lagi dengan yang dulu, yang ini putih) sudah tidak karuan baunya… kalau warna tetep..putih biru.  Jangankan orang lain, diri sendiri aja cukup terganggu dengan aromanya.  Jangankan beraktivitas berat, diam saja di sini keringat sudah keluar sendiri.  Mungkin begitu caranya orang sini sehat-sehat, karena belum berolahragapun keringat sudah bercucuran.
Demikianlah, akhir perjuangan hari itu.  Oya, saat mobil sampai, ban cadangan pun akhirnya kempes.  Sedangkan cerita tengah malam saat kami membongkar ikan bersambal dabu-dabu yanglezat , kiranya kurang patut diceritakan….

Ke Pedalaman Halmahera

13 Juli 2010
TRUE merasuk ke pedalaman Halmahera
Mobil “Sofifi” yang dipesan sehari sebelumnya agar menjemput jam 7 pagi, tentu saja dalam WIT ternyata tidak datang.  Belakangan saya mengerti mengapa ia ingkar janji.  Walaupun tidak mengerti mengapa ia tidak menjawab saja tidak bisa…  Urusan jam 7 pagi pun agak membuat linglung.  Hal ini karena jam otak saya masih merasakan bahwa saat ini masih jam 5 pagi, di Bogor tentunya.  Jadi dengan susah payah, 3 alarm HP disetel agar berbunyi jam 4.30 WIT. 
Setelah mandi dan aktivitas pendukungnya, kami siap menunggu jemputan.  Sambil menikmati nasi kuning khas Tobelo, yang saya tahu sebelumnya di internet, kami mengobrol di ruang terbuka pelataran penginapan yang sekaligus menjadi ruang makan terbuka.  Sinar matahari sudah menghangatkan, bahkan memanaskan.  Padahal masih jam 7 pagi. 
Hingga jam 8, mobil tidak datang.  Akhirnya diganti dengan mobil ”Sofifi” lain jenis Toyota Yaris.  Kelak mobil ini kita tahu ternyata tidak cocok untuk mengantar kami.  Bukannya tidak merasa nyaman naik sedan baru, namun kasihan melihat sopir dan mobilnya yang kerap kali terantuk batu atau terperosok kubangan air.
Akhirnya semua siap berangkat.  Kami terbagi dua kendaraan, saya memilih kijang karena memang tiada duanya.  Jalanan yang ditempuh mulus-mulus saja awalnya, maklum menuju kota Kao, tempat kami mendarat sehari sebelumnya.  Setelah menempuh sekitar 40 menit, mobil belok kanan.  Tampak jalan berkerikil dan berpasir di hadapan kita, diapit pohon-pohon kelapa yang menjulang.  Beberapa menit kemudian, kami serasa mengikuti rally gurun pasir dengan efek debu dibelakang kendaraan masing-masing.  Lepas dari jalanan yang rata dan lurus, mulailah petualangan yang mendebarkan.  Mobil pertama, mengalami terperosok kubangan hingga 2 kali dan memaksa penumpangnya untuk turun dan mendorong.  Jalanan selanjutnya turun naik, dengan kondisi rusak berat.  Kami melewati banyak jembatan yang hanya pas untuk ukuran truk sedang.  Namun yang istimewa, jembatan tersebut terbuat dari kayu atau batang pohon kelapa.  Sehingga, pengemudi harus sigap menapakkan roda di atas permukaan batang kelapa.  Dan itu tidak hanya satu, mungkin lebih dari 5 jembatan seperti itu.  Di lokasi lain, pohon besar menghalangi jalan, namun sebagian tepinya masih bisa diterobos kendaraan.
Makin kedalam jalan makin masuk ke hutan.  Pohon cukup rapat, diselingi dengan bambu dan pohon-pohon berukuran sedang.  Kemudian kembali perkebunan kelapa mendominasi.  Beberapa keluarga petani kelapa sedang mengasapi daging buah kelapa di atas para-para, dan diasapi oleh bakaran sabut dan batok kelapa.  Mereka membuat bahan mentah kopra.  Tiba-tiba ada perkampungan cukup besar di jalan yang kami lewati.  Rumah-rumah kayu, dengan anjing dan babi berkeliaran.  Ibu-ibu menggendong “Soloi”, sejenis ransel yang terbuat dari daun dan pelepah kelapa, membentuk sedikit tabung yang mengerucut.  Berjalan beriringan, entah keman.  Pemandangan lainnya setelah kembali masuk ke hutan adalah hamparan sawah.  Cukup luas, dan mengisyaratkan pengelolanya bukan pribumi.  Memang benar, kami memasuki wilayah transmigrasi.
Memang, desa transmigrasi tampak lebih makmur.  Di sini pula terdapat satu-satunya SMA, masih swasta namun guru-gurunya sudah PNS.  Sekolahnya berhalaman sangat luas.  Disinilah rupanya tempat TRUE akan membagi pengalamannya.
Guru-guru sudah nampak berkumpul.  Dihalaman yang luas itu hanya ada satu pohon yang cukup besar.  Pohon awir-awir.  Motor berjejer mengambil keteduhannya.  Kami segera bergegas menurunkan barang.  Sambil mempersiapkan peralatan, acara dibuka secara resmi oleh perwakilan dari Dinas Pendidikan, dengan formal tentunya.
Setelah itu, barulah dengan kekhasan metoda pelatihannya, baik dari seting ruang dan pelayanan lain, para guru-guru diajak ke dunia baru pembelajaran yang menyenangkan. 

Kota Tobelo

12 Juli 2010
Kota Tobelo
Tobelo, pertama mendengar namanya bagi telinga saya yang sehari-hari mendengar bahas Sunda, agak lucu saja.  Sengaja saya minta Ismi, seorang staf TRUE yang gesit, untuk membeli peta Indonesia terbaru.  Tidak puas rasanya hanya browsing di Internet dan melihat di Google Earth.  Setelah peta dibentangkan dan ditempel di dinding kantor, memang terlihat nyata, betapa jauhnya dari Bogor.  Betapa luasnya Indonesia tercinta ini.  Hati makin penasaran, seperti apa keadaan kota dan masyarakatnya di gugusan kepulauan ujung utara negeri ini.
Kota Tobelo cukup ramai, kendaraan dalam kota didominasi Bentor, modifikasi motor jenis bebek, yang bagian stang depan diganti dengan kabin mirip becak.  Persis yang pernah saya jumpai di Kota Gorontalo.  Namun bedanya, di Tobelo lebih tertib dalam hal administrasi.  Semua bentor memiliki nomor registrasi dari dinas perhubungan setempat.  Sedangkan jeni angkot seperti di Bogor, melayani trayek yang cukup jauh.  Mungkin kalau di Bogor trayek seperti itu akan dilayani bus ¾ atau minimal L-300.  Sedangkan jarak jauh lagi ada Mobil-mobil “sofifi” yang terdiri dari aneka merek dan jenis.  Jadi masyarakat di sini tidak usah memiliki kendaraan keluaran terakhir yang cukup mahal, cukup jadi penumpang “sofifi” saja, dan kita bebas mau pilih jenis mobil sekehendak hati kita.
Tidak lengkap mengunjungi suatu kota tanpa merasakan makanannya.  Dan tentu saja, hal ini yang paling saya suka.  Berhubung kota pantai, pasti pilihan makanan laut yang paling pas.
Hari pertama kedatangan sebelum masuk hotel, kami mampir ke rumah makan.  Namun yang menghidangkan aneka ikan laut agak kurang banyak dijumpai.  Setelah berkeliling, ada juga.  Lucunya yang berjualan kelihatannya dari Madura.  Tidak mengapa, toh ikannya dari Halmahera juga.
Mulailah petualangan kuliner hari pertama.  Kepiting goreng, Udang mentega, Ikan Bakar dan Goreng, serta Kangkung Cah.  Minumnya Es Jeruk.  Ketika pesanan datang, ternyata kepitingnya besar sekali.  Satu ekor (kepiting kan tidak berekor??) bisa dimakan beberapa orang.  Ikan bakar dan goreng masih mirip-mirip kita jumpai di belahan Sulawesi Utara, yaitu dihidangkan dengan sambal “dabu-dabu”, yaitu irisan tomat hijau, cabe rawit dan bawang merah.  Bedanya dengan di Gorontalo, dabu-dabu di sini memakai kemangi dan jeruk yang sangat terasa asamnya.  Kalau di Gorontalo rasanya lebih asin gurih.
Cukup banyak juga kita makan, mengingat dari pagi di Manado belum terisi nasi.  Hanya sambil menunggu jemputan saya sempat memesan mie instan di Bandara Kao, dengan ditemani sepotong ayam goreng dari restoran cepat saji AW (kita sebut inisalnya saja, eh… salah, memang begitu namanya) di Soekarno Hatta.  Jadi sang ayam goreng ikut terbang ke Manado, lalu terbang lagi ke Halmahera, dan mengahiri nasibnya di sana.
Setelah makan, kami tiba di penginapan.  Villahermosa, di jalan Parahyangan.  Tempat baru kelihatannya.  Cukup sederhana, namun bersih, dan berusaha menyenangkan tamunya.  Namun lucunya, di sisa tanah halaman, ditanami kacang tanah, jagung, pepaya dan beraneka bunga yang membawa kesan tahun 70-an seperti mawar dan kerabatnya.  Untuk menjaga stamina akibat pergeseran waktu, tidak banyak yang kami kerjakan selain tidur.
Malam hari, saat waktu makan malam, kami bersama panitia lokal diajak ke tempat makan ikan lagi.  Namun sebelum hidangan utama jadi, pengunjung disuguhi singkong rebus yang katanya direbus dengan santan.  Rasanya sungguh sangat enak, manis seperti kue, namun masih berbentuk singkong seutuhnya.  Baru kali ini saya menikmati singkong rebus seperti ini… dan semua menyukainya.  Hanya kesadaran akan datangnya ikan goreng saja yang menghentikan keinginan memamah singkong ini.
Ikan bakar utuh per orang, cukup membuat kenyang.  Bagaimana cara menghabiskannya, sudah bukan konteks laporan perjalanan sepertinya…
Setelah puas makan, kami berkeliling.  Yang pertama ingin kami lihat ialah seperti apa pusat pemerintahannya.  Kabupaten Halmahera Utara ini cukup luas, sehingga masyarakat di sana, pejabat khsusnya, merasa memerlukan kantor yang mewah.  Kantor Bupati kalau tidak bisa disebut istana, sangat megah berdiri, katanya baru setahun dipakai.  Bentuknya mirip-mirip Pentagon, mungkin arsiteknya terinspirasi dari sana.  Dengan luas sekitar 7 hektar, jadilah miniatur Pentagon.  Haruskah kita bangga atau miris, mengingat umumnya masyarakat di pedalaman yang sangat sederhana….
Sudahlah, kita pun susah untuk merubahnya, lebih baik kita kembali ke niat semula, yaitu merubah yang jauh lebih besar, merubah peradaban, yang kita yakini harus dimulai dari guru-guru di Indonesia.  Hal ini juga yang kadang-kadang menjadi tertawaan dan cibiran beberapa orang-orang.  Tapi, seiring waktu, ternyata kita temukan komunitas yang satu visi dengan kami dan akhirnya gerakan tersebut makin menggulir, dan pada saat ini membawa kami ke ujung pulau Halmahera.
Tidak salah Jendral Mc Arthur membuat pilihan di kepulauan Morotai, demikian pula armada Jepang.  Karena lokasinya sangat strategis, menghadapi samudra Pasifik dan terlindung dan terkamuflase oleh pulau-pulau dan gunung-gunung.  Sebuah pertahanan alamai yang kokoh, namun mendiaminya serasa di di taman firdaus.  Mungkin begitulah kira-kira perasaan para tentara sekutu waktu perang dunia kedua.  Morotai dari Tobelo bisa ditempuh dengan speedboat.  Di perairan yang memisahkan Halmahera dengan Morotai, konon terdapat banyak sekali bangkai kapal Jepang yang karam, akibat serangan pihak sekutu.  Dan sekarang, oleh sebagian pengrajin, besi-besi berkualitas eks kapal dijadikan perhiasan dan kerajinan khas Halmahera, dikenal dengan kerajinan besi putihnya.  Walaupun di kota Tobelo terdapat penjual kerajinan besi putih, dalam hati kecil saya ingin sekali menyebrang ke Morotai. Mungkin suatu saat……

Bandara Kuabang Kao


12 Juli 2010

Mendarat di Bandara Kuabang Kao Halmahera Utara

Perbedaan waktu ini sungguh mengganggu jam biologis tubuh. Kalau di Nias, tidak ada perbedaan waktu, tapi waktu subuh jadi siang, jam 6.00 WIB masih gelap. Sedangkan waktu sarapan dan makan siang tidak berbeda dengan Bogor. Lain halnya di Manado, lebih cepat 1 jam. Jadi jam 5 pagi, sejatinya masih jam 4 di Bogor. Artinya waktu istirahat yang sangat pendek. Hal ini berdampak pada kebiasaan “rutin”, sebelum subuh biasanya. Namun karena perbedaan waktu hasilnya tidak optimal, walhasil di bandara Manado, saat yang lain menunggu hidangan sarapan di cafĂ©, saya lebih memilih menuntaskan kebutuhan biologis. Namun, ternyata hingga saya kembali, pilihan menu hidangan paling cepat pun yang dipesan teman-teman belum juga terhidang. Soto baru terhidang ketika panggilan terakhir bagi para penumpang tujuan Tobelo bergema….

Pesawat Wings Air jenis Dash 8-300 yang akan membawa kami tidak tergolong baru. Cat baru warna khas Lion group tidak bisa menyembunyikan umur aslinya. Bagasi yang kecil memaksa tas ransel disimpan di bawah jok depan. Getaran mesin yang memutar baling-baling yang hanya 4 bilah sangat terasa, bagaikan mobil yang rodanya belum dibalancing. Sama seperti saudara tuanya, di Wings Air juga merupakan penerbangan tanpa hidangan, kecuali satu gelas air mineral, yang di Lion Air justru tidak didapatkan. Perlahan tapi pasti mesin pesawat makin bergetar, mendorong laju pesawat hingga kecepatan tinggal landasnya. Dengan percaya diri meninggalkan jejeran pesawat jet, bahkan pesawat F-16 yang berpangkalan di Manado. Kekhawatiran akan kekuatan mesin sirna ketika jendela pesawat menyuguhkan pemandangan yang sangat luar biasa indah di ujung utara pulau Sulawesi. Perpaduan gunung Klabat yang menjulang, dengan pantai dan hamparan nyiur di bukit-bukit, serta birunya laut sungguh melukiskan indahnya jamrud khatulistiwa.

Ternyata mesin Dash 8-300 ini cukup bertenaga, pesawat cukup tinggi terbangnya, jauh melebihi ATR 50-500 yang membawa ke Nias pada kunjungan pertama. Pemandangan dari ketinggian sungguh menakjubkan, apalagi saat mendekat dan terbang di atas Ternate. Gunung berapi yang muncul dari laut membentuk pulau-pulau kerucut. Di hamparan pantainya tampak penuh pemukiman. Seolah tidak takut akan potensi gunung api. Sama sekali tidak ada tempat berlindung apabila gunung meletus… Mungkin kekhawatiran berlebihan ya.

Landing position. Seolah pesawat akan mendarat di tengah perkebunan nyiur. Tetapi saat roda akan menyentuh daun nyiur, langsung terlihat ujung landasan. Dan pesawat mendarat dengan mulus. Penumpang yang turun cukup bergegas, sama dengan penumpang yang akan menaiki pesawat yang sama. Maklum, penerbangan hanya dilayani hari Senin dan Jumat. Pesawat akan segera kembali ke Manado, demikian kata pramugarinya…..

Setelah barang semua terkumpul, pesan pantia daerah berbunyi “…dijemput avanza hitam”. Saat itu ada 2 avanza. Satu dinaiki tetangga saya di Bogor yang kebetulan ada kegiatan juga di TObelo. Satu lagi tidak merasa dipesan untuk menjemput kami. Kesulitannya adalah sinyal GSM, jadi harus bergerak mencoba beberapa posisi untuk mendapatkan sinyal. Dan ternyata, mobil penjemput memang belum sampai. Kami baru tahu belakangan bahwa mobil menjemput dari Tobelo, 80 km dari bandara…..

Sepengetahuan saya, pelatihan akan diadakan di kota Kao, kota bandara berada. Ternyata mobil kembali ke Tobelo. Ternyata di Kao tidak dijumpai penginapan yang representatif, jadilah kota Tobelo menjadi markas. Pelatihan sendiri ada di Kao Barat yang konon berjarak 40 km dari kota lewat jalan tembus. Hal ini bakal ditempuh tiap hari. Demikian pula Galela, akan ditempuh tiap hari juga, hanya jaraknya sekitar 30 km-an.

Sepanjang jalan menuju Tobelo, pemandangan disuguhkan hamparan pantai yang sangat indah. Tampak beberpa pulau-pulau berjejer di seberang pantai. Sedangkan pemandangan sebelah kiri, adalah hamparan pohon nyiur yang sudah sangat tinggi-tinggi. Pemandanagan monoton yang tidak membosankan…. kalimat yang aneh…

Mobil yang kami kendarai Toyota avanza, namun berplat kuning. Di Halmahera Utara ini, mobil jenis apapun bisa dijadikan kendaraan umum dan diberi plat kuning. Jadi jangan heran di jalan berseliweran Suzuki APV, Toyota Inova, Yaris, dan tentu saja terbanyak Avanza. Bahkan kata orang sini, ada pula Toyota jenis tertentu yang bagi kita sangat mewah, yang dijadikan angkutan umum. Luar biasa. Mobil-mobil itu biasanya melayani trayek Sofifi-Tobelo, sekitar 5-7 jam perjalanan normal. Karena trayek ke Sofifi, kota dimana menjadi penghubung dengan Pulau Ternate, maka disebutlah mobil plat kuning ini mobil Sofifi. Bagi para pengemudi Sofifi ini, kecepatan 80 km di jalan sempit nan berkelok sudah menjadi santapan sehari-hari. Tinggalah kita sebagai penumpang yang menahan jantung.

Mobil Sofifi yang kami kendarai masuk kota Tobelo sekitar jam 11-an. Kota yang cukup ramai dan tampak sedang bergeliat maju kembali, menghilangkan semua jejak kerusuhan yang pernah terjadi.



Perjalanan di Halmahera Utara


Bogor 11 Juli 2010

Catatan Tobelo

Berangkat menuju Manado

Bulan Juli ini cukup padat bagi TRUE (Teacher Resources Empowerment Center), lembaga pelatihan khusus bagi para insan pendidikan, tempat kami bernaung. Diawali keberangkatan tim Boven Digul, dengan dikomandoi Pak Ical-sekaligus sebagai Panglima Wilayah Timur, mencakup Papua, NTT dsk., menyusul tim Nias II dengan Pak Agus sebagai komandan Wilayah Barat, dengan wilayah teritorial Sumatra dan Kalimantan-nya. Alhamdulillah, walaupun keberangkatan armada Barat dan Timur tidak bersamaan, kepulangannya bisa kompak. Tentu saja berkat kepiawaian para pilot Garuda dalam mendaratkan dan memarkir pesawat di apron Soekarno Hatta dalam saat yang hamper bersamaan. Jadilah tempat pengambilan bagasi menjadi meeting point sementara.

Menyusul seminggu kemudian Tim Tobelo harus berangkat. Tobelo masuk Wilayah Tengah, mencakup kegiatan di Poso-Palu-Tentena Sulawesi, Halmahera dsk., dengan komando Pak Kalih, alias saya sendiri, Tim harus berangkat pada hari Minggu tanggal 11 Juli. Sebenarnya cukup menguras stamina, karena seminggu sebelumnya baru datang bersama Tim Nias II yang bertugas seminggu penuh. Namun, siap setiap saat demi bangsa tercinta tidak harus selalu milik para pasukan elit negara kita.

Persiapan cukup baik dan lancar, tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Tim Delta, alias tim dapur yang digawangi Bu Ida, Ismi, Ria, Pak Arifin dan teman-teman BEL lainnya. Mereka berkorban waktu dan tenaga demi menyiapkan berbagai kebutuhan dan peralatan tempur dengan lengkap. Salut dan Hormat buat Tim Delta.

Taxi meluncur jam 14.30, sengaja agak siang, walaupun pesawat akan terbang jam 18.40. Ini karena hari itu hari terakhir liburan sekolah. Benar saja, walau tol lancar, hiruk pikuk dan antrian penumpang begitu panjang, dan mengekor hingga jauh di luar. Karena malam harinya pertandingan final Piala Dunia, maka banyak sekali penumpang yang tergolong fans Spanyol dan Belanda denga kaus kebanggaannya masing-masing. Tentu saja saya memakai kaus kebanggaan saya terhadap tim tercinta, Persib. Saya rada berani pakai Persib di bandara, tapi tidak berani coba-coba di Jakarta……

Namun, dengan kesabaran semua, keadaan cukup terkendali, sampai akhirnya duduk nyaman di gerbang A5, khusus penerbangan Lion Air tujuan Manado. Seperti beberapa penerbangan sore dan malam dengan Lion, ada sedikit keterlambatan akibat alasan “operasional”. Namun yang lucu, ternyata pesawat tujuan Manado terparkir di gerbang A1, jadilah rombongan calon penumpang pawai karnaval dengan berbagai bawaan dan dandanannya bergerak ke gerbang A1.

Penerbangan terlambat sekitar sejam. Pesawat bergerak agak lamban, panjang landasan pacu hampir terpakai semuanya. Saya merasa tenaga airborne pesawat Boeing 737-800ER ini agak kurang, lambat sekali. Hingga beberapa menit ketinggian pesawat tidak seperti biasanya. Pasti hal ini berkaitan dengan penumpang dan bagasi yang pasti sangat penuh dan berat. Pikiran itu saja yang mencoba menenangkan saya. Penerbangan ini tanpa hidangan, tentu saja bukan alasan untuk mengurangi beban, tapi para pemilik Lion ini sudah berhitung, kalau penumpang tidak makan atau minum selama 3 jam 10 menit tidak akan menyebabkan penyakit serius….. Masalahnya, kalau kita tertidur, kemudian terjaga tenggorokan terasa kering….

Di dalam pesawat penuh dengan orang Manado….eh, yang ini mah ngga usah ditulis atuh… Pesawat berada di ketinggian jelajah 35.000 kaki, sekitar 11 km dpl, padahal kemampuan pesawat ini bisa sampai 38.0000 kaki, pengalaman ketinggian yang belum dan ingin saya rasakan di penerbangan domestik. Padahal walaupun ketinggian maksimal, saya tidak akan tahu apapun di daratan. Pertama, karena malam hari, kedua karena memang saya tidak di sisi jendela. Tapi saat akan mendarat di bandara Sam Ratulangi, pemandangan dari jendela sungguh luar bisa. Garis pantai yang penuh cahaya bangunan dan kendaraan, bukit-bukit bercahaya… cantik sekali.

Good landing, Captain…. Pesawat menyentuh bumi cukup halus. Kemudian terparkir dengan presisi di apron. Jam menunjukkan jam 11.30 WITA. Masih ada waktu untuk Piala Dunia. Setelah lengkap semua bagasi, perjalanan dilanjutkan taksi ke pusat kota Manado, untuk sekedar bermalam di Hotel Sahid Kawanua. Sebuah hotel yang membawa ingatan ke masa orde baru dahulu, baik dari pelayanan, maupun interiornya. Kalau kita ingat jaman film-film yang dibintangi Hamid Arief, Marlia Hardi, mungkin bisa menggambarkan keadaan hotel itu. SeolahCukup baik untuk sekedar tidur, walaupun hanya sekejap, karena jam 5.00 WITA harus segera ke bandara kembali.

Hari ini cukup melelahkan…. Sehingga kekalahan Belanda tidak terlalu menyakitkan, karena saya tidak turut jadi saksi, dan saya terlelap dengan kaus Persib tanpa sempat ganti baju…..