Cari Blog Ini

Senin, 04 Januari 2021

Selamat Tinggal Halmahera

15 Juli 2010
Selamat tinggal Halmahera….


Ini hari terakhir petualangan bersama para guru di pedalaman Halmahera, khususnya di Kec. Kao Barat.  Tempat ini belum terbayangkan sebelumnya ada, mungkin dalam mimpipun tidak.  Hari terakhir ini guru-guru sangat bersemangat, karena dua hari sebelumnya telah mendapatkan pencerahan yang lain daripada yang lain.  Kami sangat terharu ketika seorang kepala UPTD berujar, “saya sangat merindukan kembali mengajar di kelas…” tentunya setelah mendapatkan metode-metode unik yang kami berikan.  Mereka berjanji akan menjadi guru-guru yang bersemangat baru, guru sejati.  Syukurlah, apa yang kita sajikan bermanfaat, biar hanya segelintir guru di pedalaman sekalipun.  Perubahan peradaban dimulai dari guru-guru, itulah keyakinan kami.
Hari ini istimewa, selain kami berangkat menggunakan kendaraan “Sofifi” baru, Innova, karena sang kijang diistirahatkan setelah mencetak “hattrick” kemarin.  Juga karena hari ini hanya berkegiatan setengah hari.  Sebab kami besok akan pindah “ngamen” ke kota Galela, sekitar 30 km dari Tobelo, tempat kami menginap.  Jadi sengaja kami percepat, agar ada waktu bagi kami sekedar melepas penat berenang di pantai atau di danau air hangat.  Soalnya jadwal yang padat belum menyempatkan kami mengeksplorasi daerah ini yang terkenal indah.
Mobil “Sofifi” yang baru ini cukup nyaman, sehingga kami bergurau, jangan-jangan semalam jalanan menuju ke Kao Barat sudah dihotmix.  Gurauan yang membikin nyengir sang pemilik kijang.  Mobil “Sofifi” disini memang bagus-bagus.  Jarak 210 km dilayani oleh berbagai jenis kenadaraan.  Jika di Jakarta Innova digunakan untuk level manajer kelas menengah, disini digunakan sebagai pengangkut orang, pisang dan sering menjadi tumpahan rasa sebal seseorang dalam arti sebenar-benarnya.  Tidak hanya Innova, Fortuner pun bernasib sama, mengangkut pisang!
Sehabis penutupan, segera kami pak barang-barang.  Banner, ATK, kabel-kabel dsb., sudah masuk ke dalam tempatnya masing-masing, kemudian disusun di bagasi mobil.  Kemudian makan bersama.  Hidangan kali ini ikan mas bumbu dabu-dabu, ikan tongkol, dan sayur kangkung.  Sederhana memang, tapi kebersamaannya yang luar biasa.  Setelah berpamitan kedua kali, kami langsung berangkat.  Jam menunjukkan pukul 3 WIT.  Semoga kami bisa sempat main di pantai.
Di perjalanan menjelang masuk kota Tobelo yang menyusuri pantai, tampak di kejauhan di balik pulau-pulau yang berserakan, kapal induk Amerika bersembunyi.  Badannya yang putih tinggi besar menyembul di balik pulau.  Ada apa dan maksud apa mereka singgah selain ada pengobatan masal? Kita tidak tahu.  Padahal rumah sakit, puskesma pun sudah banyak.  Buat apa mereka datang mengobati?
Di penginapan langsung kami mandi.  Siap-siap untuk menikmati kota di sore hari.  Tidak lama kemudian HP yang memang jarang berbunyi selama disini,, bergetar.  “Pak Kalih, bisa ke kantor sebelahkah?”  Begitu suara dari seberang.  Memang penginapan kami bersebelahan dengan kantor lembaga yang mengontrak kami.  Lembaga yang memiliki perwakilan hampir di seluruh wilayah di Indonesia.  Ada apa gerangan?  Dalam hati sudah bertanya, bukankah segala urusa admistrasi dll., sudah diurus oleh Tim Delta di Bogor?
Ternyata di kantor kami telah berkumpul perwakilan lembaga tersebut yang datang dari Galela, tempat tujuan berikutnya.  Ada hal yang penting dan genting, hingga mereka menemui kami disini. 
Suasana Galela sedang panas, kendaraan dinas ada yang dibakar.  Penyebabnya urusan sepele, ketidak lolosan bakal calon bupati oleh KPUD.  Rupanya masa pendukungnya tidak terima, dan akan mendemo secara besar-besaran besok hari.  Saya tanyakan apa rekomendasi orang Galelanya sendiri, dan mereka tidak menyarankan kegiatan hari esok.  Apalagi ada kumpul-kumpul guru yang notabene orang pemerintah, yang mereka sasari dan benci.  Bahkan staf dari Galela sudah menghubungi koordinator demonya sehingga sedikit bocoran sudah didapat.  Akhirnya setelah berdiskusi singkat, keselamatan yang utama.  Ini sesuai dengan jargon Selamat-Manfaat-Nikmat kita.  Tim harus kita evakuasi untuk menghindari hal-hal yang mungkin terjadi disini.. Di sini potensi konflik sangat tinggi.  Sisa-sisa cerita ngeri konflik masih terdengar.  Apabila demo benar terjadi dan masuk ke kota Tobelo, dipastikan bandara dan sarana lain lumpuh.  Dan kami akan terjebak untuk waktu yang tidak bisa diduga.
Akhirnya diputuskan, sore ini juga tim harus berangkat ke Ternate, kota yang dipisahkan jarak dan waktu sejauh 210 km + 1 jam penyebrangan menggunakan speedboat atau ferry.  Lembaga yang mengontrak kami tidak mau mengambil resiko apapun terhadap konsultannya.  Saat itu di penginapan Pak Andir da Pak Okwan sudah siap-siap untuk berenang, demikian pula Kang Lutfhi yang sedang bermasalah dengan pencernaannya namun siap pula untuk berendam.  Segera saya kumpulkan pasukan dan membriefing untuk segera mengemas barang dalam tempo 15 menit.  Setelah juga mengirim kabar ke markas komando di Bogor, kami siap berangkat.  Raut kekecewaan yang mendambakan rekreasi pun saya tangkap.  Tapi komando harus dijalankan.
Setelah menyepakati kejadian Forcemajeur dalam perjanjian, dan disepakati akan diselesaikan dengan musyawarah di kantor pusat, jam 6 sore mobil meluncur.  Innova dan Yaris yang sejak pagi masih menjadi pengantar kami.  Kedua orang sopir yang setia mau mengantar kami hingga ke titik penyebrangan.  Dengan imbalan yang pantas tentunya.
Perjalanan yang indah namun dengan perasaan belum siap sepenuhnya untuk menikmati.  Pikiran masih agak kacau dengan rencana yang berubah tiba-tiba.  Namun lama-kelamaan kami nikmati juga.  Jarak perjalanan 210 km cukup mengganggu perasaan.  Karena sebenarnya saya ingin istirahat.  Setiap hari menempuh sekitar 100 km dengan kondisi jalan yang menegangkan, membuat stamina terkuras.  Sudah terbayang jarak sekitar Jakarta-Sumedang yang harus ditempuh malam hari dengan jalan non tol.  Namun, kendaraan yang nyaman dan sopir yang piawai menjadikan saya cukup menikmati perjalanan ini.
Mobil “Sofifi” adalah raja jalanan di sini.  Kecepatan rata-rata 80-100 km per jam.  Biasa bagi pengguna Tol Cipularang atau Jagorawi.  Namun jalanan disini sangat sempit, kira-kira seluas satu baris di jalur jalan tol saja.  Jadi kalau berpapasan akan sangat pas.  Namun urusan papasan, di jalanan sempit tersebut, sopir tidak melambatkan kecepatan, jadi saat berpapasan bisa masing-masing berkecepatan sama.  Serasa naik KRL Pakuan yang berpapasan.  Sepanjang perjalanan sebenarnya disuguhi pemandangan yang sangat indah.  Pantai di sebelah kiri dengan berbagai variasi konturnya.  Namun itu terlihat kalau siang hari.  Malam hari begini memang laut tidak terlihat.  Namun bintang-bintang bertebaran sangat indah.  Bulan sabit di barat yang malu-malu akhirnya sembunyi perlahan di balik bukit-bukit.  Sementara sang sopir memutar lagu Richard Marx yang berjudul.., seolah tahu hati perasaan romantis penumpangnya.  Keindahan alam berpadu dengan kekayaan rasa kalbu, mengingat orang-orang tercinta dan yang mencintai kita.  Hmm… indahnya cinta.
Setelah berhenti di rumah makan, rombongan berhenti keduakalinya di halaman kantor gubernur Halmahera Utara, sudah di Sofifi.  Gedung yang sangat megah, besar dan mewah.  Sekali lagi, cukup ironis bagi sebagian besar warganya yang berambut pirang….  Bagi penggemar Donal Bebek, kira-kira mirip gudang uang Paman Gober, namun digabung dengan Marlinspike Hall-nya Kapten Haddock di kisah Tintin.  Malam hari itu kami memandang kantor dengan perasaan aneh, seolah memandang gedung kasino di Las Vegas…. Dari gedung di atas bukit ini, pulau Ternate, Tidore dan sekitarnya jelas terlihat.  Mengingatkan kepada kantor gubernur Gorontalo yang juga di atas bukit yang pernah kami singgahi.  Seolah ingin menunjukkan kemakmuran pemimpinnya…..
Tidak lama kemudian, sampailah di pelabuhan speedboat.  Setelah tawar menawar, barang dipindahkan dari mobil ke atap speedboat.  Dan kami duduk di bawahnya di ruang yang tidak begitu luas.  Kapasitas kalau penuh mungkin sekitar 25 orang.  Dan tak lama kemudian speedboat melaju kencang, menembus gelapnya laut, menuju gemerlap kota Ternate di seberang sana.  Kang Luthfi yang sedang bermasalah dengan perutnya seolah lupa, dia menclok di ujung depan atap bersama sang juru lampu, seolah ingin lebih dulu menyongsong keindahan dan angin laut.
Bintang gemintang yang cemerlang nampak lebih banyak jumlahnya dan lebih dekat, seolah memayungi kami, dan dihadapan lampu kota tua Ternate, peninggalan kesultanan yang makmur, bagai gelang emas yang mengelilingi gunung Gamalama yang berdiri angkuh.  Tepat jam 23.30 kami berada ditengah laut yang gelap dihembus angin kencang, kami meninggalkan bumi Halmahera yang indah.  Selamat tinggal Halmahera……kami pasti kembali!

Tayan, di tepian Kapuas

Jalan-jalan ke Tayan (3)
Tidak seperti di Pontianak dan sekitarnya, Batang Tarang memiliki sumber air.  Jadi, walaupun tergantung listrik, air cukup baik disini.  Mesjid dan surau, walaupun sedikit penggunanya, selalu berlimpah air.  Jadi saat jeda atau rehat, pilihan di surau adalah terbaik.  Surau, walaupun berdinding dan berkeramik, tetapi tidak berpondasi.  Melainkan berdiri di atas tonggak-tonggak balok kayu besi atau ulin.  Walaupun sepintas balok-balok itu kecil, namun kokoh dan tidak lapuk oleh cuaca dan air yang menggenanginya.  Konstruksi demikian, hampir ditemukan di seluruh rumah dan bangunan yang dijumpai sepanjang Pontianak-Sanggau.  Gedung Olah Raga pun berkonstruksi demikian.  Jadi hampir semua bangunan disini adalah panggung.  Makanya, ketika jalan di Ancol ambles, pasti orang Dayak akan menertawakan cara kerja para kontraktornya.....
Sungai Kapuas sangat mendominasi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kalimantan Barat.  Namun demikian, bagi kami sungai Kapuas masih hanya dalam cerita saja.  Kami sekedar melewatinya saat akan ke Sanggau, dan tentu saja saat akan mendarat di Pontianak.  Oleh karena itu, untuk mengenal daerah lebih jauh dan menghapus keingintahuan kami, diusulkanlah kunjungan ke Sungai Kapuas. 
Akhirnya, sore hari kami berangkat ke Tayan.  Sekitar sejam perjalanan dari Batang Tarang.  Tayan lebih ramai.  Kota yang berujung di sungai.  Ternyata sungai Kapuas ini seperti layaknya laut atau danau saja.  Terdapat dermaga tempat berlabuh masyarakat yang berdomisili di pulau Tayan.  Tayan itu terdiri dari daratan dan pulau di tengah sungai.  Pulaunya cukup besar dan ramai, mungkin sekitar 1 RW atau lebih.   Banyak yang bekerja di daratan dan tinggal di pulau.  Angkutan perahu bermesin lalu lalang layaknya becak atau ojek di kota. 
Sore itu sangat cerah, pemandangan sangat indah.  Kehidupan masyarakat habis berbelanja turun dari bis dan hendak menyebrang dengan barang-barangnya.  Hiruk pikuk yang mengasyikan.  Kami menaiki boat milik WVI yang mengundang kami ke sini.  Kios BBM pun terapung, sangat unik.  Setelah tanki terisi penuh, mulailah perjalanan menyusuri sungai Kapuas.
Sang pengemudi mengarahkan ke seberang.  Jadilah kami menyusuri pulau Tayan.  Rumah di pulau menghadap sungai, dan tempat MCK ada di sepanjang sungai.  Jadilah perjalanan seolah sedang menginspeksi MCK berikut kegiatannya.... Akhirnya kami sampai ke ujung pulau.  Dan ternyata, sungai di balik pulau jauh lebih lebar daripada bagian yang menghadap daratan.  Makin ke hilir makin lebar saja.  Kalau diperkirakan mungkin selebar 3km-an, bahkan lebih.  Kapal-kapal besar leluasa lalu lalang.  Kapal pengangkut CPO saja ada dua bersandar, sedang menunggu diisi dari kilang-kilang pinggir sungai.  Di kejauhan bukit-bukit merah terkelupas, diambil dan diangkut tanah-tanahnya ke Jepang.  Bauksit katanya, tapi apakah sebodoh itu kalau hanya mengambil bauksit?  Berapa biaya angkut dan olahnya kalau sekedar bauksit?  Dan tiap hari ratusan bahkan ton diangkut menggunakan tongkang-tongkang raksasa.
Makin lama sungai makin lebar lagi... menyuguhkan pemandangan seperti laut.  Matahari yang hendak terbenam mengeluarkan warna-warna yang indah..  sunset di sungai...
Menjelang maghrib boat diputar balik, kembali ke Tayan dengan menyusuri arah sebaliknya, melalui belakang pulau.  Di seberang masih nampak kerimbunan hutan.  Kapal-kapal pengangkut kayu yang sudah terpotong nampak di kejauhan.  Di sisi dekat boat yang kami naiki, untaian kayu gelondongan yang sangat panjang ditarik dua kapal.  Entah berapa hektar kalau kayu-kayu itu diberdirikan kembali. 
Di salah satu ujung pulau, nampak kapal-kapal “kargo”, kalau truk mungkin seperti truk kontainer, namun modifikasi dari kapal pinisi. Itulah kapal “Bandung”, kapal yang mengangkut barang-barang kebutuhan dari Pontianak.  Persis seperti kehidupan jalanan di Pantura dengan truk-truknya, namun ini berdimensi sungai.
Perjalanan susur Kapuas ini berakhir di kedai ikan dan udang bakar.  Entah sampai kapan Tayan hidup dengan perahu-perahunya, karena saat ini sedang dibangun jembatan yang menghubungkan dua daratan yang terpisah sungai ini, dengan pulau Tayan sebagai tiangnya.  Mungkin kehidupan air bergeser menjadi kehidupan darat setelah ada jembatan kelak, menghapus berbagai keunikan yang telah beratus tahun ada.

Minggu, 20 Februari 2011

Papua, bumi yang tersembunyi (5)

Berjuang di tanah sendiri

Banyak yang menanyakan, apa sih sebenarnya yang dilakukan saya dan kawan-kawan keliling Nusantara?  Mungkin secara singkat disini akan saya gambarkan, sedangkan versi lengkapnya tentu berupa laporan kegiatan dan mudah-mudahan jadi sebuah buku tentang kisah pendidikan di Nusantara.  Pendidikan? Ya, sektor itulah yang sedang kami kembangkan. 

Di saat kita dihembuskan isu globalisasi, double certificate, kurikulum asing dan sebagainya, kami justru kembali ke akar budaya Nusantara.  Mungkinkah kita menjadi bangsa global? Tidak mungkin, yang mungkin ialah bangsa Indonesia yang menguasai dunia.  Seperti Cina dengan ekonominya kira-kira.  Jadi suatu bangsa harus kuat dan berakar pada budayanya sendiri.  Budaya Nusantara merupakan cerminan budaya sains dan ilmu pengetahuan yang sangat hebat.  Sebagai bahan pembelajaran, budaya kita tidak mengada-ada dan tersedia alat bahan dan contohnya. Budaya juga yang menjadikan bangsa ini memiliki karakter yang terkenal dahulu.  Apa jadinya jika pembelajaran menghilangkan budaya? Karakter bangsa akan hilang, diganti dengan karakter capitalist comperador

Lihatlah, dari rumah berlomba-lomba dijalanan, nyelip sana-nyelip sini, terobos sana-terobos sini, hanya demi “keteladanan” di kantornya masing-masing yang hanya menggunakan indikator mesin absensi.  Seorang dikatakan teladan apabila tepat waktu, tidak peduli perilakunya di jalanan.  Itu hanya sepersekian tabiat dari “produk” pendidikan sekarang.  Bagaimana mengembalikan bangsa yang unggul, ya harus dengan pendidikan juga, namun bukan pendidikan yang “kosong”, namun pendidikan yang memiliki “ruh” berupa budayanya sendiri. Hanya bagaimana metoda menyampaikan pembelajaran seperti ini sehingga guru-guru memahami dan dapat sampai kepada anak-anak dengan gembira.  Inilah yang kami lakukan.  Tentu saja tidak mudah dan dapat jadi secepat kilat.  Perlu proses dan waktu yang lama.  Tapi daripada tidak ada yang memulai dan tidak ada yang mengerjakan, mulailah dengan langkah kecil kami.
Kami yakin, niat dan tindakan akan dipertemukan Tuhan dengan sesama orang, atau lembaga yang memiliki niat dan tindakan yang sama.  Demikian pula kami, berkembanglah yang semula skala kecil, kemudian diasah dengan seminar-seminar sehingga akhirnya dapat dicobakan di beberapa bagian negari tercinta ini.  Jadilah model pembelajaran yang sesuai konteksnya.  Di Nias yang rawan bencana memiliki model sendiri, di Poso yang pernah terjadi peristiwa dahsyat kemanusiaan tentu modelnya khas juga.  Demikian juga di Kalimantan, Maluku, Papua, Nusatenggara, dan daerah lainnya.  Kearifan-kearifan lokal yang hilang, kita gali bersama lagi dengan para guru setempat dan dijadikan berbagai ragam kegiatan untuk siswa.  Dan hingga saat ini kami masih murni bergerak tanpa sangkut paut pendanaan pemerintah.
sejatinya kitalah yang belajara dari guru-guru hebat dari seluruh nusantara..
Membosankan ya membacanya? Sok idealis banget ya.  Oke, kalau begitu, saya akan ceritakan satu penggalan kisah lain dari bumi Papua.

Bersyukurlah bagi anak sekolah di daerah lain.  Fasilitas sangat berlimpah.  Namun di Papua ini, khususnya suku-suku pedalaman harus berjuang ekstra keras.  Si Soleman ini contohnya.
Soleman, paling kiri, kelas 5 SD bersama adik-adik suku dan kerabat suku Kombai

Siang hari yang terik, ketika saya jumpai di “gubug”nya, dia bertelanjang dada dan memegang sebuah buku pelajaran agama.  Dia agak kaget dengan kedatangan saya dan seorang kawan lagi.  Akhirnya kami dibolehkan masuk ke “gubug”nya.  Gubug itu, kalau tidak menyinggung perasaan,  lebih mirip kandang, merupakan warisan kakak kelasnya yang sekolah di kota Tanah Merah.  Berupa rumah panggung berdinding dan beralas papan yang tidak rapat.  Atap daun rumbia dengan lubang dimana-mana.  Di tengah ruang ada tungku yang penuh abu kayu bakar.  Satu-satunya sumber api dan penerangan.  Satu buah katel dan panci dan beberapa jarigen air.  Itulah perlengkapan rumahnya.  Memang agak cukup besar, karena mampu menampung beberapa anak.
Di gubug siswa asal suku Korowai

Soleman berasal dari suku Korowai, masih kerabat dengan suku Kombai.  Jarak dari kota Tanah Merah ke kampungnya relatif, paling dekat 2 minggu jalan kaki, atau  bisa sampai sebulan. Tergantung perbekalan dan cuaca.  Setelah menyusuri sungai selama 2 hari, dilanjutkan berhari-hari jalan di hutan.  Sehingga anak sekolah di sana, apabila selesai bercita-cita akan ke Surabaya, karena lebih dekat.  “Kalau ke kampung saya perlu waktu sebulan jalan kaki, ke Surabaya cukup seminggu, Bapa..”  Kedua suku ini merupakan suku yang aslinya tinggal di rumah-rumah tinggi.  Yaitu rumah yang dibangun di atas pohon. Bukan rumah pohon biasa, tapi pohon yang puluhan meter tingginya.

Di samping gubugnya, terdapat juga rumah tinggi.  Mungkin anak-anak membangun untuk melepas kerinduan terhadap kampung halamannya yang tidak dapat sepanjang tahun dia tengok.  Sambil bercerita, Soleman yang mengaku belum makan sejak pagi kami persilahkan makan, kebetulan kami membawa nasi satu kotak, dan sedikit perkedel dan kerupuk dari tempat kegiatan yang saya lakukan di tempat lain.  Sambil makan nasi, dia hanya makan nasi saja, dia bercerita tentang hidupnya.  Ia masih kelas 5 SD dan mengaku berumur 11 tahun, sekolahnya kira-kira 4 km dari gubug ini.  Membaca pun belum begitu lancar.  Namun dari penampakan tentu saja saya tidak percaya dia berumur 11 tahun.  Badannya sudah besar dan tegap dengan cambang yang sudah tumbuh.  Dia pernah datang ke Tanah Merah ini di tahun 2008 dahulu.  Saat membawa ayahnya dari kampung berobat ke kota.  Bertiga dengan ibunya, mereka berjalan berminggu-minggu hingga sampai ke kota.  Di kota disuruh pulang kembali karena tidak mungkin diobati.  Sakit kulitnya sudah sangat parah.  Konon katanya orang dari jauh sudah dapat mencium bau penyakit ini.  Dengan kondisi parah, sang ayah dibopong kembali oleh Soleman kecil dan ibunya.  Setelah 2 hari di perahu dan akan melanjutkan berjalan ke hutan, ayahnya meninggal.  Soleman kecil dengan segala cara membuat kuburan bagi ayahnya di dalam hutan.  “Saya gali setinggi ini...” katanya sambil menunjuk pinggangnya.  Dia bercerita sambil berkaca-kaca....

Adalah biasa kalau pagi hari tidak makan.  Ia dan semua anak-anak makan siang hari setelah mereka mendapat uang atau bekerja.  Anak-anak SD yang masih kecil tidak diwajibkan kerja.  Anak besar saja yang bekerja.  Ada yang menggali pasir dan menjualnya ke toko bangunan, ada yang mencuci dan mebersihkan rumah di rumah-rumah kota.  Anak dewasa mendapat uang Rp 20.000 dari upah menggali pasir dan menaikannya ke truk.  Walau dapat uang, harga beras disini mahal, mereka hanya mampu membeli beras seharga Rp 85.000-100.000 untuk 15 kg, entah kualitas apa.  Itu juga tidak dapat rutin mereka lakukan.  Lebih sering makan mie instan barangkali.  Apabila tidak mendapat makanan, puasalah mereka sampai pingsan.  Sambil ditunjuk dan ditertawakan kawannya, Soleman mengaku kemarin ia sempat pingsan karena kelaparan.  Kegembiraan dalam keprihatinan, membuat saya menitikan air mata.  Mereka sama sekali tidak mendapat jatah raskin.  Mereka berjuang sendiri demi sekolah dan masa depannya.

gubug asrama anak Korowai
Luar biasanya ialah mereka hampir tidak pernah tidak membayar sekolah.  Di Tanah Merah, SMK masih memungut Rp 20.000,-, SMP bahkan Rp 50.000,- dan itu mereka bayar dengan mengorbankan rasa kenyang.  Di luar itu, mereka harus menanggung adik-adik kelasnya yang masih kecil-kecil.  Memang persaudaraan antar suku sangat kuat.  Suku adalah keluarga, dimana seorang wajib mengayomi sesama sukunya.

Sekarang tahun 2011, dia sudah kelas 5 SD.  Dia bercita-cita ingin menjadi guru, karena ingin membawa desanya menjadi maju.  Sebuah cita-cita sederhana, yang semoga dapat dicapainya.

Masih banyak Soleman-soleman lain, yang mudah-mudahan saya bisa menceritakannya lagi.
25012011

Papua, bumi yang tersembunyi (4)

Wisata Kuliner

udang yang baru dipancing di sungai Digoel
Satu hal yang paling menyenangkan dari bepergian adalah mencoba aneka makanan.  Aneka kuliner Nusantara yang kaya menunjukkan betap pengetahuan leluhur bangsa kita sudah sangat maju.  Menu masakan dan racikan bumbu adalah cerminan ilmu pengetahuan dan sains.  Bagaimana memadukan berbagai rempah sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang beraneka rasa membuktikan keahlian bangsa kita, yang diwariskan secara khusus kepada kaum wanita Nusantara.  Berbanggalah wahai ibu-ibu yang hobi memasak, karena merekalah pewaris ilmu pengetahuan sejati. Tidak sekedar lezat, tetapi enak dipandang dan menghasilkan aroma yang menggoda.  Lebih hebatnya, tiap daerah memiliki kekhasannya sesuai konteks daerah masing-masing.

Mengapa profesi Pak Bondan selalu membuat iri orang-orang, begitulah kuliner...  Demikian pula di Papua ini.  Saya mencoba mencari kekhasan makanan daerah ini.  Memang, karena jumlah penduduk yang tidak begitu banyak, apalagi komposisi penduduk asli dan pendatang berimbang, maka jenis kuliner pun didominasi masakan pendatang.  Warung makan Jawa, Padang dan Makassar lah yang ada. 

es pisang ijo.. lembut manis segar ditengah terik
Kita mulai dari penyegar ya.... Es pisang ijo masih pilihan terbaik.  Pisang yang dibalut tepung berwarna hijau, mirip pisang molen, diberi es serut dan sirup cocopandan.  Kemudian diguyur seperti bubur sumsum encer dan diberi susu kental. Dihiasi butiran delima dan pacar cina, jadilah hidangan yang menggugah rasa.  Saat siang hari ditengah kota yang panas dan sedikit pohon rindang, duduk di bangku warung dihadapan kipas angin dan semangkuk es pisang ijo merupakan puncak ritual... mau yang lain? Ngga ada lainnya....

Masuk ke menu wajib.  Nasi memang makanan pokok disana.  Ubi mungkin sebagian warga Papua di pegunungan tengah.  Sedangkan di pantai dan daerah asimilasi sudah menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya.  Warung makan beterbaran, menu sama seperti di Jawa, namun uniknya pasti tersedia daging rusa.  Daging rusa diolah kedalam berbagai menu masakan.  Ada lapis kecap, sate maupun bakso rusa.  Rasanya?  Tentu saja lezat.  Bakso rusa termasuk favorit jajanan.  Harga daging rusa lebih murah daripada daging ayam.  Di Merauke ayam per ekor berharga Rp 90.000,- , di Tanah Merah Rp 150.000,-.  Jadi tentu lebih pilih daging rusa daripada ayam.  Demikian pula telur ayam.  Walaupun sudah ada peternakan di Merauke, pedagang mendatangkan pula dari Surabaya.  Telur dijual Rp 2.000 per butir, tidak peduli besar atau kecil.  Oleh sebab itu pedagang yang mendatangkan telur dari Surabaya memilih telur yang berukuran kecil.

Selain ditemani daging rusa, soto Makassar jadi pilihan. 
soto makassar yang kental dan gurih
Kuahnya yang kental berminyak, tidak berpengaruh terhadap berkurangnya kadar selera di siang hari yang terik.  Kita bisa pilih daging atau jeroan, atau keduanya sekaligus.  Makannya tidak dengan nasi, namun dengan ketupat.  Di meja terhidang ketupat ukuran sedang dan sudah dibelah.  Jadi dengan mudah kita tinggal membelah menggunakan sendok saja.

Tidak lengkap rasanya kalau tidak melirik hewan air.  Tentu saja kepiting Papua yang terkenal.  Di salah satu rumah makan kita bisa memilih kepiting yang masih hidup.  Mereka ditempatkan di dalam kotak kawat.  Jumlahnya puluhan, capitnya besar-besar.  Tempurungnya berwarna hijau tua sedikit oranye.  Setelah dipilih beberapa ekor, eh, kepiting tidak berekor ya? Segera terhidang aneka masakan kepiting.  Bagian daging kepiting yang favorit biasanya pada capitnya, kemudian di bagian dadanya.  Tapi buat saya yang paling enak ialah yang ada pada bagian tempurung bagian dalam, terselip dalam sudut-sudut tempurung.  Hmm... enak banget.

Di Tanah Merah kita bisa jumpai udang sungai Digoel yang besar-besar.  Empat ekor seharga Rp 50.000,-  Udang yang masih hidup itu segera kita masak di dapur hotel yang serasa dapur sendiri.  Soal rasa, sangat dahsyat.  Manis, tanpa amis.  Biar serasa di Papua, kami bikin juga papeda berikut ikan kuahnya.  Sayurannya paling banyak daun singkong, daun pepaya, kangkung dan pakis. Sayuran didatangkan dari daerah transmigran.  Namun daun pepaya, singkong berasal dari kebun penduduk lokal. 

Di Merauke ada lagi tempat oleh-oleh yang khas.  Dendeng rusa, abon rusa, bakso rusa...   Namun yang lebih mantap ialah ikan asinnya.  Ada dua pilihan, asin kakap dan ikan peda.  Tapi peda disini berbeda dengan peda di Jawa pada umumnya.  Di Jawa peda dibuat dari ikan kembung. Peda di Merauke, khususnya di tempat oleh-oleh terbuat dari bandeng dan sejenis bandeng tapi ikan laut.  Awalnya saya agak meragukan karena bentuknya mirip ikan biasa saja.  Tidak ada warna garam atau berkerak seperti peda merah.  Tapi berhubung mau mencoba, saya membeli satu ekor, dan memang hanya tinggal satu-satunya.  Di dinding toko tampak foto penjual peda dengan SBY yang sedang memegang ikan seperti yang saya pegang.  Rupanya sang pengrajin sudah bereputasi nasional.  Mengapa peda ini juara?  Ternyata memang amat sangat memuaskan.  Bagi penggemar ikan asin, ketika dicium mentahnya saja sudah memberikan aroma yang harum, mirip jambal roti kualitas satu.  Ketika digoreng, aromanya lain lagi.  Harum, berbeda dengan ikan asin biasa.  Kalau harum bisa diberi warna, harum peda ini berwarna jernih....  Kulitnya yang mirip bandeng sangat renyah, dagingnya yang putih sangat masir.  Kalau ditekan hancur bagai roti.  Apalagi diberi jeruk limo.
Cara makannya ternyata ada lagi.  Menurut sang penjual, cobalah bikin “sambal”nya.  Sambal tanpa cabai.  Terbuat dari bawang merah, merica, garam dan perasan jeruk nipis.  Dan ketika dipadukan dengan sang peda... hhmm menu kaisar deh...

Lain lagi dengan dendeng rusa.  Ada beberapa tingkatan kualitas dendeng.  Yang paling istimewa ialah yang dagingya digiling dulu.  Jadi lebih lembut ketika dikunyah.  Cara menggorengnya pun ada teorinya.  Menurut sang penjual, masukan dendeng ketika minyak masih dingin, lalu ketika panas angkat saja.  Namun cara saya mungkin lebih berguna, yaitu rendam dulu di air sampai berwarna keputihan, kemudian goreng sebentar.  Jadilah dendeng yang empuk.

Sebenarnya masih ada juga menu lainnya. Tapi kita akhiri dulu, makan setelah lapar, berhenti sebelum kenyang.
25012011

Papua, bumi yang tersembunyi (3)

Menuju Boven Digoel

PK-NUH, Twin Otter yang membawa ke Tanah Merah.
Pagi hari di hari Senin kota Merauke cukup ramai.  Padahal kalau di Bogor masih dini hari.  Anak-anak sekolah lalu lalang.  Kami sudah berada di bandara. Pesawat Twin Otter Merpati sudah ada di apron.  Namun ternyata pesawat terbang ke Muting dulu.  Tanah Merah harus menunggu sekembalinya pesawat.  Jadi di sini jadwal penerbangan sangat tentatif.

Akhirnya para penumpang tujuan Tanah Merah Kab. Boven Digoel dipersilahkan check-in.  Barang yang diizinkan hanya yang bisa ditenteng, lainnya harus dikumpulkan dan dibagasikan. Pesawat Twin Otter dengan registrasi PK-NUH dengan nama Natuna sudah menanti. Saya masuk terakhir, namun kursi dibelakang pilot masih kosong.  Entah mengapa penumpang disini tidak mau dekat pilot.  Padahal tempat itu yang saya inginkan agar bisa melihat aktivitas pilot dan merasakan nuansa kokpit.  Ternyata bagasi disebar di seluruh pesawat.  Di bawah kursi penuh dengan barang-barang penumpang. Saya duduk sendiri di kursi berkspasitas dua orang.  Jadi cukup leluasa menyimpan tas dan kamera.

Mesin bergetar kuat, lambat laun makin cepat dan mendengung memberikan cukup tenaga untuk berjalan.  Setelah taxi, pesawat seolah tertatih-tatih berlari untuk ancang-ancang mengangkasa.  Sedikit-demi sedikit sang Twin terbang perlahan. Saya berdoa sambil tetap memegang handycam.  Kelak saya akan upload ini video di Youtube.  Belakangan PK-NUH ini saya baca pernah tergelincir di Bintuni, dan dibuat pada tahun 1973.  Fuihh...37 tahun umurnya! Untung saya tahunya belakangan setelah berada di Bogor kembali.

Ruang kokpit sangat sempit.  Indikator bisa saya perhatikan dengan jelas.  GPS menunjukkan arah dan jarak.  Merauke-Tanah Merah akan ditempuh sekitar 1 jam.  Kecepatan di udara sekitar 120-130 knots lebih.  Altimeter menunjukkan ketinggian makin lama makin tinggi.  Ketinggian berakhir di ketinggian 7.000 kaki.  Dari ketinggian itu tampak terhampar puluhan ribu hektar perkebunan sawit milik Korindo. Bersebelahan dengan hutan yang bakal habis sebagai bahan baku pabrik kayu lapis, milik Korindo juga.  Sedih juga melihatnya.. hiks..hiks.. Sungai, rawa, dan hutan mendominasi pemandangan di bawah.  Tentu saja saya lebih senang melihat itu.

Satu jam berlalu, pesawat sudah merendah. Pilot dan Ko-pilot sudah siap-siap melakukan pendaratan.  Flaps posisi 2, nose mulai diturunkan.  Pesawat makin pelan.  Bandara sudah nampak dari jendela depan.  Saat menyentuh landasan mesin langsung dimundurkan, maksudnya tenaga dorong dibalik.  Sekejap saja pesawat melambat dan masuk ke apron.  Cara mengendalikan kokpit yang persis saya sering mainkan di Flight Simulator.  Benar-benar mirip, sehingga saya merasa sangat ingin juga mencoba memegang kemudi aslinya.  Kalau di Flight Simulator saya sudah memiliki sertifikat pendaratan untuk Cessna.  Jadi saya siap-siap saja andai salah satu pilot berhalangan.... Obsesi.com.

Hanya sekitar 15 menit saja pesawat berhenti, selanjutnya pesawat berangkat lagi. Saya berada di bendara yang sederhana.  Peralatan pendukung bandara serba portabel.  Pemadam kebakaran ada saru unit yang menjadi satu kesatuan dalam pick up Strada.  Di salah satu bangunan yang seperti gudang, puluhan drum-drum berisi avtur.  Tidak ada menara kontrol, namun ada satu tiang tempat menunjang sebuah sirine, mirip sirine ambulans.  Satu-satunya tanda kalau ada pesawat akan mendarat.  Sehingga seluruh kota dapat mendengar kalau ada pesawat akan datang.

Jemputan sudah ada, taxi.  Taxi disana sama dengan angkot di Bogor.  Hanya bisa kita minta kemana saja sesuai tujuan.  Warnanya oranye dengan tarif 5000 rupiah jauh dekat.  Tujuan pertama ke penginapan, yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Hotel masih baru, cukup baik. Hanya ada 8 kamar saja.  Katanya milik Bupati namun ditunggui oleh dua orang dari Menado.  Cukup nyaman dan bersahabat.

Bung Hatta menghasilkan pemikiran luar biasa buat bangsanya di tanah ini
Hari pertama di Tanah Merah ini saya bersama kawan mengisinya dengan jalan-jalan.  Tugu Bung Hatta yang pertama dikunjungi.  Terletak pas berhadapan dengan bandara.  Bung Hatta gagah berdiri, namun dengan telunjuk menekuk ke bawah, seolah berkata, " di dieu yeuh....!"  
Di sel seperti inilah Bung Hatta menghabiskan waktu di pengasingan
Setelah itu penjara tempat Bung Hatta dibuang Belanda.  Penjara masih sangat terawat.  
Ada juga ruang buat tahanan wanita
Di bagian depan penjara untuk wanita.  Sebuah bangsal berkapasitas 25 orang.  Di seberangnya kompleks penjara untuk pria.  Ada yang berupa bangsal dan ruang-ruang kecil berkapasitas 1 orang.  Konon Bung Hatta menempati bangsal yang besar.  WC jongkok terdapat di pojok bangsal.  Terbayangkan apabila bangsal penuh.  WC tidak mengalir ke septic tank, namun masuk ke kotak di luar ruang yang harus diambil dan dibersihkan memakai sekop pula.  Namun saat ini semua bersih, karena penjara tersebut menjadi benda sejarah yang dilindungi undang-undang.  Walaupun berkeliling, tidak ada seorang pun kami temui. 

Cuaca yang sangat terik membuat kulit terbakar.  Suhu diperkirakan sekitar 40 derajat Celcius.  Jadilah warung es pisang ijo ala Makassar menjadi sasaran kami.  Berhubung di warung itu terdapat menu soto Makassar, sangat tepat kalau kita jajal....

Malam hari langit tampak sangat luas, bintang-bintang seolah bertambah jumlahnya.  Udara terasa sejuk. Malam ini malam pertama di Tanah Merah.

23012011

Papua, bumi yang tersembunyi (2)

Merauke, kota tertimur Indonesia.

Patung penerjunan Benni Murdani saat pembebasan Irian Barat, yang ga ada mirip2nya..
Dari Sabang sampai Merauke menjajar pulau-pulau....  Sepenggal bait itulah yang langsung terngiang di telinga.  Akhirnya sampai juga saya di Merauke.  Kota yang selalu saya ingin kunjungi. 
Sejak kecil saya senang mengamati peta Indonesia.  Hampir seluruh kota dan bandara saya hafal.  Hingga ketika SD saya dilarang menjawab pertanyaan saat pelajaran IPS.  Hal ini bagi saya merupakan keasyikan sekali menikmati dan mengamati negeri ini.  Tentu saja dengan Merauke, kota yang dikenal seluruh bangsa Indonesia.  Apalagi ketika Garin Nugroho membuat serial kisah anak 1.000 pulau, yang salah satunya menceritakan kehidupan di Taman Nasional Wasur.  Makin menjadi saja keingintahuan saya mengenai kota ini.

Merauke menyambut saya dengan guyuran hujan.  Bandara Mopah masih di bawah pengelolaan pemda, belum angkasa pura.  Sehingga tidak jelas tanggungjawab siapa ketika hujan besar.  Siapa yang menjemput penumpang sesaat setelah keluar dari tangga pesawat.  Ternyata pihak Merpati mencarter mobil-mobil sewaan, silih berganti mengangkut penumpang ke gedung utama. 

Suasana bandara cukup ramai.  Bagasi mulai masuk ke baggage conveyor, tapi konveyor disana hanyalah sepanjang 2 meter saja.  Selanjutnya roda-roda silinder besi yang berderet membentuk huruf U yang menghubungkan konveyor 1 dan konveyor 2.   Selepas dari konveyor otomatis barang harus didorong diatas silinder besi tadi.  Jadilah barang-barang dari konveyor 1 beradu dengan barang yang keluar dari konveyor 2 dari penerbangan yang berbeda.  Barang yang beradu ditaruh di tengah bagian dalam.  Maka, saling berlompatlah para porter menyebrang jalur konveyor....

Penerbangan lanjutan ke Boven Digoel baru bisa keesokan harinya.  Saya masih punya sehari untuk keliling Merauke.  Mulailah tour d’Merauke.  Diawali melintas jembatan sungai Maru, jembatan yang 3x lebih panjang dari jembatan Kapuas.
cilok yg bukan sunda.. emang aci dicolok bahasa jawanya apa ya?
Perjalanan dilanjutkan ke Tanah Miring.  Daerah transmigrasi legendaris.  Orang-orang Jawa sejak dulu sudah berhijrah disana.  Termasuk Benni Moerdani pun ternyata diterjunkan disana waktu pembebasan Irian Barat.  Tugunya yang sama sekali tidak mirip sang Jenderal pun saya kunjungi.  Namun dari kisah penerjunan Irian Barat yang saya baca, ternyata suasana jauh berbeda.  Di daerah ini sudah jauh dari hutan.  Pemukiman sudah berkembang.  Penjual cilok hilir mudik, namun cilok dari Jatim, bukan Bandung.  Tugu ini sekitar 45 menit naik kendaraan dari Merauke.

Para pemukim dari Jawa sudah berkembang.  Usaha dan pertanian cukup baik.  Warung-warung jagung bakar, kelapa dan minuman berderet.  Sehingga wilayah transmigran merupakan salah satu tujuan wisata warga Merauke.  Tujuan wisata lain adalah TN Wasur.  TN Wasur terkenal dengan rumah semutnya yang disebut Mosamos. 
rumah semut, bukan sarang semut ya...
Rumah semut setinggi 2 meter lebih bermunculan di semak-semak.  Namun, pemandangan yang indah seperti di film Garin tidak saya jumpai.  Hamparan padang rumput luas dengan kangguru dan rusa berlarian tidak saya lihat.  Mungkin di bagian lain, atau memang belum diskenariokan ya...

Suasana kota Merauke yang panas di siang hari cukup sepi.  Di sana umumnya toko-toko tutup di siang hari, dan sore hari kembali buka. Seperti Bandung tahun 70-an saja.  Tapi memang berjalan-jalan siang hari cukup menyiksa.  Sinar matahari sangat terik.  Apalagi matahari sedang berada di garis selatan.  Akhirnya saya kembali di dalam kamar berpendingin udara di Hotel Marin.  Nama hotel yang berasal dari nama satu suku di Merauke.

23012011

Papua, bumi yang tersembunyi (1)

Jakarta - Merauke


Papua? Wah, dari dulu sejak zaman Irian Jaya ingin sekali saya menginjakkan kaki di bumi tertimur negeri ini.  Kurang afdol rasanya kalau sebagai bangsa Indonesia kita belum sampai di tempat matahari terbit pertama kali menyinari bumi Indonesia di setiap pagi.

Di saat saya excited, teman dan kerabat mengkhawatirkan kondisi di sana.  Bayangan bawah sadar keadaan saat pembebasan Irian Barat rupanya masih melekat di benak sebagian besar kita.  Apalagi berita terakhir tentang keamanan.  Serangan di Timika, serangan di Merauke, keributan antar suku di beberapa distrik makin melengkapi referensi kekhawatiran. 

Tujuan utama ekspedisi kali ini ialah di Kabupaten Boven Digoel.  Kabupaten enclave yang tidak memiliki laut.  Namun kapal laut dapat singgah.  Ini dimungkinkan karena Sungai Digoel yang lebar dan dalam, yang menjadikan Tanah Merah sebagai hub bagi distribusi barang ke daerah yang lebih dalam lagi.   Berada ditengah-tengah antara Jayapura dan Merauke, berbatasan langsung dengan Papua Nugini.  Namun untuk dapat mencapai itu, saya harus menempuh perjalanan lebih dari 4.000 km.  Jarak yang sama untuk sampai ke negara Jepang, India, melintasi benua Eropa dan jarak pantai barat dan timur AS.  Sungguh negara kita sangat luas!

Seminggu sebelum berangkat, kami sudah rutin menenggak kina.  Hanya itu yang memberi sugesti tentang kekebalan terhadap malaria.  Apalagi beberapa teman yang pernah di Papua mengatakan bahwa Boven Digoel salah satu daerah endemik.  Informasi lain tentang keadaan disana sangat minim.  Searching di internet pun tidak memberikan data yang banyak.  Jadilah hanya mengandalkan pengalaman teman yang pernah lebih dulu ke sana.  Namun yang menjadi perhatian utama ialah bagasi.  Usahakan barang seringkas-ringkasnya.  Bagasi maksimal 3 kg, mengantisipasi pesawat kecil yang akan membawa kami.  Barang lainnya diusahakan masuk ke dalam ransel yang bisa masuk kabin.

Di tiket yang saya terima tertulis CGK-DDJ.  Kami tidak tahu singgah dimana dulu.  Namun setelah di terminal 2F, saya lihat di monitor ternyata pesawat ke Jayapura singgah di Makassar dan Biak.  Perjalanan ke bandara cukup lancar, sehingga kami masih banyak waktu untuk makan malam, walaupun yakin nanti di penerbangan mendapat makan malam.  Jam 21.00 kami sudah boarding.  Dan beberapa saat kemudian lepas landas menuju angkasa yang hitam.
Pesawat yang saya naiki ialah Boeing B737-800NG, full hiburan dengan layar sentuh.  Cukup nyaman untuk perjalanan agak lama.  Hidangan pun cukup bervariasi.  Walaupun tadi sudah makan, saya coba juga menghabiskannya, dan ternyata bisa.  Jam 24.00 WIB atau 01.00 WIT pesawat sudah memasuki bandara Hasanudin Makassar.  Singgah 30 menit cukup untuk sekedar ke toilet dan jalan-jalan meluruskan kaki.

Penerbangan menuju Biak membutuhkan waktu sekitar 2 jam.  Otomatis dini hari penumpang dihidangkan lagi makan.  Entah termasuk makan malam, makan sahur atau sarapan.  Saya sih dengan mantap menolak, karena khawatir akan mengganggu aktivitas rutin lainnya.  Sekitar jam 4 dinihari WITA, saya menginjakkan kaki di Biak sekaligus sholat subuh di bandara Frans Kaisiepo.  Di Biak ini pula crew Garuda diganti.  Jadi selanjutnya ke Sentani kami diantar dengan crew yang masih segar bugar.

Pagi hari di bandara Sentani sangat cerah dan panas.  Bandara yang indah dengan arsitektur mirip honai-honai, tapi lebih mirip gedung tumpeng TMII.  Pesawat beraneka jenis terparkir di bandara yang luas, didominasi pesawat kargo.  Beberapa pesawat yang rusak teronggok juga di sudut parkiran.  Di belakang gunung-gunung menjulang, berbatasan dengan danau Sentani yang indah.  Namun saya tidak bisa lama-lama menikmati alam, pesawat berikutnya menuju Merauke sudah menunggu.  Penerbangan ke Merauke disambung dengan Merpati.  Garuda hanya mengantar sampai di Jayapura saja.  Katanya nanti akan ada juga penerbangan ke Merauke.  Sedangkan pilihan pesawat berbadan lebar ke Merauke selain Merpati adalah Batavia.   Pesawat Merpati yang kami naiki sesungguhnya mengekor sejak dari Soekarno-Hatta.  Baik singgah di Makassar, Biak, selalu beriringan. 
izakod bekai izakod kai, satu hati satu tujuan. merpati milik pemda merauke
Pesawat Merpati seri B737-300 segera membumbung tinggi.  Walaupun pesawat secara umur mungkin rada uzur, tapi dengan pilot yang terasa sangat menikmati penerbangannya menjadikan saya rada tenang.  Pilot cukup aktif memberikan informasi penerbangan dengan nada gembira. Apabila sesorang bekerja dengan hati dan hobinya, tentu hasilnya akan lebih baik.  Itu yang menenangkan saya dengan penerbangan ini. 

Selepas pegunungan Jayawijaya, terlihat hamparan daratan berwarna merah, dan memang itulah Tanah Merah yang saya tuju. Sang Pilot menginformasikan hal itu.  Selain itu, cuaca di Merauke dikabarkan sedang terjadi hujan, namun dengan pembawaan pilot  saya yakin pendaratan akan baik-baik saja.

Akhirnya, di tengah guyuran hujan, sang burung besi mendarat dengan selamat di kota terujung Nusantara.
*22012011*