Cari Blog Ini

Minggu, 20 Februari 2011

Papua, bumi yang tersembunyi (5)

Berjuang di tanah sendiri

Banyak yang menanyakan, apa sih sebenarnya yang dilakukan saya dan kawan-kawan keliling Nusantara?  Mungkin secara singkat disini akan saya gambarkan, sedangkan versi lengkapnya tentu berupa laporan kegiatan dan mudah-mudahan jadi sebuah buku tentang kisah pendidikan di Nusantara.  Pendidikan? Ya, sektor itulah yang sedang kami kembangkan. 

Di saat kita dihembuskan isu globalisasi, double certificate, kurikulum asing dan sebagainya, kami justru kembali ke akar budaya Nusantara.  Mungkinkah kita menjadi bangsa global? Tidak mungkin, yang mungkin ialah bangsa Indonesia yang menguasai dunia.  Seperti Cina dengan ekonominya kira-kira.  Jadi suatu bangsa harus kuat dan berakar pada budayanya sendiri.  Budaya Nusantara merupakan cerminan budaya sains dan ilmu pengetahuan yang sangat hebat.  Sebagai bahan pembelajaran, budaya kita tidak mengada-ada dan tersedia alat bahan dan contohnya. Budaya juga yang menjadikan bangsa ini memiliki karakter yang terkenal dahulu.  Apa jadinya jika pembelajaran menghilangkan budaya? Karakter bangsa akan hilang, diganti dengan karakter capitalist comperador

Lihatlah, dari rumah berlomba-lomba dijalanan, nyelip sana-nyelip sini, terobos sana-terobos sini, hanya demi “keteladanan” di kantornya masing-masing yang hanya menggunakan indikator mesin absensi.  Seorang dikatakan teladan apabila tepat waktu, tidak peduli perilakunya di jalanan.  Itu hanya sepersekian tabiat dari “produk” pendidikan sekarang.  Bagaimana mengembalikan bangsa yang unggul, ya harus dengan pendidikan juga, namun bukan pendidikan yang “kosong”, namun pendidikan yang memiliki “ruh” berupa budayanya sendiri. Hanya bagaimana metoda menyampaikan pembelajaran seperti ini sehingga guru-guru memahami dan dapat sampai kepada anak-anak dengan gembira.  Inilah yang kami lakukan.  Tentu saja tidak mudah dan dapat jadi secepat kilat.  Perlu proses dan waktu yang lama.  Tapi daripada tidak ada yang memulai dan tidak ada yang mengerjakan, mulailah dengan langkah kecil kami.
Kami yakin, niat dan tindakan akan dipertemukan Tuhan dengan sesama orang, atau lembaga yang memiliki niat dan tindakan yang sama.  Demikian pula kami, berkembanglah yang semula skala kecil, kemudian diasah dengan seminar-seminar sehingga akhirnya dapat dicobakan di beberapa bagian negari tercinta ini.  Jadilah model pembelajaran yang sesuai konteksnya.  Di Nias yang rawan bencana memiliki model sendiri, di Poso yang pernah terjadi peristiwa dahsyat kemanusiaan tentu modelnya khas juga.  Demikian juga di Kalimantan, Maluku, Papua, Nusatenggara, dan daerah lainnya.  Kearifan-kearifan lokal yang hilang, kita gali bersama lagi dengan para guru setempat dan dijadikan berbagai ragam kegiatan untuk siswa.  Dan hingga saat ini kami masih murni bergerak tanpa sangkut paut pendanaan pemerintah.
sejatinya kitalah yang belajara dari guru-guru hebat dari seluruh nusantara..
Membosankan ya membacanya? Sok idealis banget ya.  Oke, kalau begitu, saya akan ceritakan satu penggalan kisah lain dari bumi Papua.

Bersyukurlah bagi anak sekolah di daerah lain.  Fasilitas sangat berlimpah.  Namun di Papua ini, khususnya suku-suku pedalaman harus berjuang ekstra keras.  Si Soleman ini contohnya.
Soleman, paling kiri, kelas 5 SD bersama adik-adik suku dan kerabat suku Kombai

Siang hari yang terik, ketika saya jumpai di “gubug”nya, dia bertelanjang dada dan memegang sebuah buku pelajaran agama.  Dia agak kaget dengan kedatangan saya dan seorang kawan lagi.  Akhirnya kami dibolehkan masuk ke “gubug”nya.  Gubug itu, kalau tidak menyinggung perasaan,  lebih mirip kandang, merupakan warisan kakak kelasnya yang sekolah di kota Tanah Merah.  Berupa rumah panggung berdinding dan beralas papan yang tidak rapat.  Atap daun rumbia dengan lubang dimana-mana.  Di tengah ruang ada tungku yang penuh abu kayu bakar.  Satu-satunya sumber api dan penerangan.  Satu buah katel dan panci dan beberapa jarigen air.  Itulah perlengkapan rumahnya.  Memang agak cukup besar, karena mampu menampung beberapa anak.
Di gubug siswa asal suku Korowai

Soleman berasal dari suku Korowai, masih kerabat dengan suku Kombai.  Jarak dari kota Tanah Merah ke kampungnya relatif, paling dekat 2 minggu jalan kaki, atau  bisa sampai sebulan. Tergantung perbekalan dan cuaca.  Setelah menyusuri sungai selama 2 hari, dilanjutkan berhari-hari jalan di hutan.  Sehingga anak sekolah di sana, apabila selesai bercita-cita akan ke Surabaya, karena lebih dekat.  “Kalau ke kampung saya perlu waktu sebulan jalan kaki, ke Surabaya cukup seminggu, Bapa..”  Kedua suku ini merupakan suku yang aslinya tinggal di rumah-rumah tinggi.  Yaitu rumah yang dibangun di atas pohon. Bukan rumah pohon biasa, tapi pohon yang puluhan meter tingginya.

Di samping gubugnya, terdapat juga rumah tinggi.  Mungkin anak-anak membangun untuk melepas kerinduan terhadap kampung halamannya yang tidak dapat sepanjang tahun dia tengok.  Sambil bercerita, Soleman yang mengaku belum makan sejak pagi kami persilahkan makan, kebetulan kami membawa nasi satu kotak, dan sedikit perkedel dan kerupuk dari tempat kegiatan yang saya lakukan di tempat lain.  Sambil makan nasi, dia hanya makan nasi saja, dia bercerita tentang hidupnya.  Ia masih kelas 5 SD dan mengaku berumur 11 tahun, sekolahnya kira-kira 4 km dari gubug ini.  Membaca pun belum begitu lancar.  Namun dari penampakan tentu saja saya tidak percaya dia berumur 11 tahun.  Badannya sudah besar dan tegap dengan cambang yang sudah tumbuh.  Dia pernah datang ke Tanah Merah ini di tahun 2008 dahulu.  Saat membawa ayahnya dari kampung berobat ke kota.  Bertiga dengan ibunya, mereka berjalan berminggu-minggu hingga sampai ke kota.  Di kota disuruh pulang kembali karena tidak mungkin diobati.  Sakit kulitnya sudah sangat parah.  Konon katanya orang dari jauh sudah dapat mencium bau penyakit ini.  Dengan kondisi parah, sang ayah dibopong kembali oleh Soleman kecil dan ibunya.  Setelah 2 hari di perahu dan akan melanjutkan berjalan ke hutan, ayahnya meninggal.  Soleman kecil dengan segala cara membuat kuburan bagi ayahnya di dalam hutan.  “Saya gali setinggi ini...” katanya sambil menunjuk pinggangnya.  Dia bercerita sambil berkaca-kaca....

Adalah biasa kalau pagi hari tidak makan.  Ia dan semua anak-anak makan siang hari setelah mereka mendapat uang atau bekerja.  Anak-anak SD yang masih kecil tidak diwajibkan kerja.  Anak besar saja yang bekerja.  Ada yang menggali pasir dan menjualnya ke toko bangunan, ada yang mencuci dan mebersihkan rumah di rumah-rumah kota.  Anak dewasa mendapat uang Rp 20.000 dari upah menggali pasir dan menaikannya ke truk.  Walau dapat uang, harga beras disini mahal, mereka hanya mampu membeli beras seharga Rp 85.000-100.000 untuk 15 kg, entah kualitas apa.  Itu juga tidak dapat rutin mereka lakukan.  Lebih sering makan mie instan barangkali.  Apabila tidak mendapat makanan, puasalah mereka sampai pingsan.  Sambil ditunjuk dan ditertawakan kawannya, Soleman mengaku kemarin ia sempat pingsan karena kelaparan.  Kegembiraan dalam keprihatinan, membuat saya menitikan air mata.  Mereka sama sekali tidak mendapat jatah raskin.  Mereka berjuang sendiri demi sekolah dan masa depannya.

gubug asrama anak Korowai
Luar biasanya ialah mereka hampir tidak pernah tidak membayar sekolah.  Di Tanah Merah, SMK masih memungut Rp 20.000,-, SMP bahkan Rp 50.000,- dan itu mereka bayar dengan mengorbankan rasa kenyang.  Di luar itu, mereka harus menanggung adik-adik kelasnya yang masih kecil-kecil.  Memang persaudaraan antar suku sangat kuat.  Suku adalah keluarga, dimana seorang wajib mengayomi sesama sukunya.

Sekarang tahun 2011, dia sudah kelas 5 SD.  Dia bercita-cita ingin menjadi guru, karena ingin membawa desanya menjadi maju.  Sebuah cita-cita sederhana, yang semoga dapat dicapainya.

Masih banyak Soleman-soleman lain, yang mudah-mudahan saya bisa menceritakannya lagi.
25012011

Papua, bumi yang tersembunyi (4)

Wisata Kuliner

udang yang baru dipancing di sungai Digoel
Satu hal yang paling menyenangkan dari bepergian adalah mencoba aneka makanan.  Aneka kuliner Nusantara yang kaya menunjukkan betap pengetahuan leluhur bangsa kita sudah sangat maju.  Menu masakan dan racikan bumbu adalah cerminan ilmu pengetahuan dan sains.  Bagaimana memadukan berbagai rempah sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang beraneka rasa membuktikan keahlian bangsa kita, yang diwariskan secara khusus kepada kaum wanita Nusantara.  Berbanggalah wahai ibu-ibu yang hobi memasak, karena merekalah pewaris ilmu pengetahuan sejati. Tidak sekedar lezat, tetapi enak dipandang dan menghasilkan aroma yang menggoda.  Lebih hebatnya, tiap daerah memiliki kekhasannya sesuai konteks daerah masing-masing.

Mengapa profesi Pak Bondan selalu membuat iri orang-orang, begitulah kuliner...  Demikian pula di Papua ini.  Saya mencoba mencari kekhasan makanan daerah ini.  Memang, karena jumlah penduduk yang tidak begitu banyak, apalagi komposisi penduduk asli dan pendatang berimbang, maka jenis kuliner pun didominasi masakan pendatang.  Warung makan Jawa, Padang dan Makassar lah yang ada. 

es pisang ijo.. lembut manis segar ditengah terik
Kita mulai dari penyegar ya.... Es pisang ijo masih pilihan terbaik.  Pisang yang dibalut tepung berwarna hijau, mirip pisang molen, diberi es serut dan sirup cocopandan.  Kemudian diguyur seperti bubur sumsum encer dan diberi susu kental. Dihiasi butiran delima dan pacar cina, jadilah hidangan yang menggugah rasa.  Saat siang hari ditengah kota yang panas dan sedikit pohon rindang, duduk di bangku warung dihadapan kipas angin dan semangkuk es pisang ijo merupakan puncak ritual... mau yang lain? Ngga ada lainnya....

Masuk ke menu wajib.  Nasi memang makanan pokok disana.  Ubi mungkin sebagian warga Papua di pegunungan tengah.  Sedangkan di pantai dan daerah asimilasi sudah menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya.  Warung makan beterbaran, menu sama seperti di Jawa, namun uniknya pasti tersedia daging rusa.  Daging rusa diolah kedalam berbagai menu masakan.  Ada lapis kecap, sate maupun bakso rusa.  Rasanya?  Tentu saja lezat.  Bakso rusa termasuk favorit jajanan.  Harga daging rusa lebih murah daripada daging ayam.  Di Merauke ayam per ekor berharga Rp 90.000,- , di Tanah Merah Rp 150.000,-.  Jadi tentu lebih pilih daging rusa daripada ayam.  Demikian pula telur ayam.  Walaupun sudah ada peternakan di Merauke, pedagang mendatangkan pula dari Surabaya.  Telur dijual Rp 2.000 per butir, tidak peduli besar atau kecil.  Oleh sebab itu pedagang yang mendatangkan telur dari Surabaya memilih telur yang berukuran kecil.

Selain ditemani daging rusa, soto Makassar jadi pilihan. 
soto makassar yang kental dan gurih
Kuahnya yang kental berminyak, tidak berpengaruh terhadap berkurangnya kadar selera di siang hari yang terik.  Kita bisa pilih daging atau jeroan, atau keduanya sekaligus.  Makannya tidak dengan nasi, namun dengan ketupat.  Di meja terhidang ketupat ukuran sedang dan sudah dibelah.  Jadi dengan mudah kita tinggal membelah menggunakan sendok saja.

Tidak lengkap rasanya kalau tidak melirik hewan air.  Tentu saja kepiting Papua yang terkenal.  Di salah satu rumah makan kita bisa memilih kepiting yang masih hidup.  Mereka ditempatkan di dalam kotak kawat.  Jumlahnya puluhan, capitnya besar-besar.  Tempurungnya berwarna hijau tua sedikit oranye.  Setelah dipilih beberapa ekor, eh, kepiting tidak berekor ya? Segera terhidang aneka masakan kepiting.  Bagian daging kepiting yang favorit biasanya pada capitnya, kemudian di bagian dadanya.  Tapi buat saya yang paling enak ialah yang ada pada bagian tempurung bagian dalam, terselip dalam sudut-sudut tempurung.  Hmm... enak banget.

Di Tanah Merah kita bisa jumpai udang sungai Digoel yang besar-besar.  Empat ekor seharga Rp 50.000,-  Udang yang masih hidup itu segera kita masak di dapur hotel yang serasa dapur sendiri.  Soal rasa, sangat dahsyat.  Manis, tanpa amis.  Biar serasa di Papua, kami bikin juga papeda berikut ikan kuahnya.  Sayurannya paling banyak daun singkong, daun pepaya, kangkung dan pakis. Sayuran didatangkan dari daerah transmigran.  Namun daun pepaya, singkong berasal dari kebun penduduk lokal. 

Di Merauke ada lagi tempat oleh-oleh yang khas.  Dendeng rusa, abon rusa, bakso rusa...   Namun yang lebih mantap ialah ikan asinnya.  Ada dua pilihan, asin kakap dan ikan peda.  Tapi peda disini berbeda dengan peda di Jawa pada umumnya.  Di Jawa peda dibuat dari ikan kembung. Peda di Merauke, khususnya di tempat oleh-oleh terbuat dari bandeng dan sejenis bandeng tapi ikan laut.  Awalnya saya agak meragukan karena bentuknya mirip ikan biasa saja.  Tidak ada warna garam atau berkerak seperti peda merah.  Tapi berhubung mau mencoba, saya membeli satu ekor, dan memang hanya tinggal satu-satunya.  Di dinding toko tampak foto penjual peda dengan SBY yang sedang memegang ikan seperti yang saya pegang.  Rupanya sang pengrajin sudah bereputasi nasional.  Mengapa peda ini juara?  Ternyata memang amat sangat memuaskan.  Bagi penggemar ikan asin, ketika dicium mentahnya saja sudah memberikan aroma yang harum, mirip jambal roti kualitas satu.  Ketika digoreng, aromanya lain lagi.  Harum, berbeda dengan ikan asin biasa.  Kalau harum bisa diberi warna, harum peda ini berwarna jernih....  Kulitnya yang mirip bandeng sangat renyah, dagingnya yang putih sangat masir.  Kalau ditekan hancur bagai roti.  Apalagi diberi jeruk limo.
Cara makannya ternyata ada lagi.  Menurut sang penjual, cobalah bikin “sambal”nya.  Sambal tanpa cabai.  Terbuat dari bawang merah, merica, garam dan perasan jeruk nipis.  Dan ketika dipadukan dengan sang peda... hhmm menu kaisar deh...

Lain lagi dengan dendeng rusa.  Ada beberapa tingkatan kualitas dendeng.  Yang paling istimewa ialah yang dagingya digiling dulu.  Jadi lebih lembut ketika dikunyah.  Cara menggorengnya pun ada teorinya.  Menurut sang penjual, masukan dendeng ketika minyak masih dingin, lalu ketika panas angkat saja.  Namun cara saya mungkin lebih berguna, yaitu rendam dulu di air sampai berwarna keputihan, kemudian goreng sebentar.  Jadilah dendeng yang empuk.

Sebenarnya masih ada juga menu lainnya. Tapi kita akhiri dulu, makan setelah lapar, berhenti sebelum kenyang.
25012011

Papua, bumi yang tersembunyi (3)

Menuju Boven Digoel

PK-NUH, Twin Otter yang membawa ke Tanah Merah.
Pagi hari di hari Senin kota Merauke cukup ramai.  Padahal kalau di Bogor masih dini hari.  Anak-anak sekolah lalu lalang.  Kami sudah berada di bandara. Pesawat Twin Otter Merpati sudah ada di apron.  Namun ternyata pesawat terbang ke Muting dulu.  Tanah Merah harus menunggu sekembalinya pesawat.  Jadi di sini jadwal penerbangan sangat tentatif.

Akhirnya para penumpang tujuan Tanah Merah Kab. Boven Digoel dipersilahkan check-in.  Barang yang diizinkan hanya yang bisa ditenteng, lainnya harus dikumpulkan dan dibagasikan. Pesawat Twin Otter dengan registrasi PK-NUH dengan nama Natuna sudah menanti. Saya masuk terakhir, namun kursi dibelakang pilot masih kosong.  Entah mengapa penumpang disini tidak mau dekat pilot.  Padahal tempat itu yang saya inginkan agar bisa melihat aktivitas pilot dan merasakan nuansa kokpit.  Ternyata bagasi disebar di seluruh pesawat.  Di bawah kursi penuh dengan barang-barang penumpang. Saya duduk sendiri di kursi berkspasitas dua orang.  Jadi cukup leluasa menyimpan tas dan kamera.

Mesin bergetar kuat, lambat laun makin cepat dan mendengung memberikan cukup tenaga untuk berjalan.  Setelah taxi, pesawat seolah tertatih-tatih berlari untuk ancang-ancang mengangkasa.  Sedikit-demi sedikit sang Twin terbang perlahan. Saya berdoa sambil tetap memegang handycam.  Kelak saya akan upload ini video di Youtube.  Belakangan PK-NUH ini saya baca pernah tergelincir di Bintuni, dan dibuat pada tahun 1973.  Fuihh...37 tahun umurnya! Untung saya tahunya belakangan setelah berada di Bogor kembali.

Ruang kokpit sangat sempit.  Indikator bisa saya perhatikan dengan jelas.  GPS menunjukkan arah dan jarak.  Merauke-Tanah Merah akan ditempuh sekitar 1 jam.  Kecepatan di udara sekitar 120-130 knots lebih.  Altimeter menunjukkan ketinggian makin lama makin tinggi.  Ketinggian berakhir di ketinggian 7.000 kaki.  Dari ketinggian itu tampak terhampar puluhan ribu hektar perkebunan sawit milik Korindo. Bersebelahan dengan hutan yang bakal habis sebagai bahan baku pabrik kayu lapis, milik Korindo juga.  Sedih juga melihatnya.. hiks..hiks.. Sungai, rawa, dan hutan mendominasi pemandangan di bawah.  Tentu saja saya lebih senang melihat itu.

Satu jam berlalu, pesawat sudah merendah. Pilot dan Ko-pilot sudah siap-siap melakukan pendaratan.  Flaps posisi 2, nose mulai diturunkan.  Pesawat makin pelan.  Bandara sudah nampak dari jendela depan.  Saat menyentuh landasan mesin langsung dimundurkan, maksudnya tenaga dorong dibalik.  Sekejap saja pesawat melambat dan masuk ke apron.  Cara mengendalikan kokpit yang persis saya sering mainkan di Flight Simulator.  Benar-benar mirip, sehingga saya merasa sangat ingin juga mencoba memegang kemudi aslinya.  Kalau di Flight Simulator saya sudah memiliki sertifikat pendaratan untuk Cessna.  Jadi saya siap-siap saja andai salah satu pilot berhalangan.... Obsesi.com.

Hanya sekitar 15 menit saja pesawat berhenti, selanjutnya pesawat berangkat lagi. Saya berada di bendara yang sederhana.  Peralatan pendukung bandara serba portabel.  Pemadam kebakaran ada saru unit yang menjadi satu kesatuan dalam pick up Strada.  Di salah satu bangunan yang seperti gudang, puluhan drum-drum berisi avtur.  Tidak ada menara kontrol, namun ada satu tiang tempat menunjang sebuah sirine, mirip sirine ambulans.  Satu-satunya tanda kalau ada pesawat akan mendarat.  Sehingga seluruh kota dapat mendengar kalau ada pesawat akan datang.

Jemputan sudah ada, taxi.  Taxi disana sama dengan angkot di Bogor.  Hanya bisa kita minta kemana saja sesuai tujuan.  Warnanya oranye dengan tarif 5000 rupiah jauh dekat.  Tujuan pertama ke penginapan, yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Hotel masih baru, cukup baik. Hanya ada 8 kamar saja.  Katanya milik Bupati namun ditunggui oleh dua orang dari Menado.  Cukup nyaman dan bersahabat.

Bung Hatta menghasilkan pemikiran luar biasa buat bangsanya di tanah ini
Hari pertama di Tanah Merah ini saya bersama kawan mengisinya dengan jalan-jalan.  Tugu Bung Hatta yang pertama dikunjungi.  Terletak pas berhadapan dengan bandara.  Bung Hatta gagah berdiri, namun dengan telunjuk menekuk ke bawah, seolah berkata, " di dieu yeuh....!"  
Di sel seperti inilah Bung Hatta menghabiskan waktu di pengasingan
Setelah itu penjara tempat Bung Hatta dibuang Belanda.  Penjara masih sangat terawat.  
Ada juga ruang buat tahanan wanita
Di bagian depan penjara untuk wanita.  Sebuah bangsal berkapasitas 25 orang.  Di seberangnya kompleks penjara untuk pria.  Ada yang berupa bangsal dan ruang-ruang kecil berkapasitas 1 orang.  Konon Bung Hatta menempati bangsal yang besar.  WC jongkok terdapat di pojok bangsal.  Terbayangkan apabila bangsal penuh.  WC tidak mengalir ke septic tank, namun masuk ke kotak di luar ruang yang harus diambil dan dibersihkan memakai sekop pula.  Namun saat ini semua bersih, karena penjara tersebut menjadi benda sejarah yang dilindungi undang-undang.  Walaupun berkeliling, tidak ada seorang pun kami temui. 

Cuaca yang sangat terik membuat kulit terbakar.  Suhu diperkirakan sekitar 40 derajat Celcius.  Jadilah warung es pisang ijo ala Makassar menjadi sasaran kami.  Berhubung di warung itu terdapat menu soto Makassar, sangat tepat kalau kita jajal....

Malam hari langit tampak sangat luas, bintang-bintang seolah bertambah jumlahnya.  Udara terasa sejuk. Malam ini malam pertama di Tanah Merah.

23012011

Papua, bumi yang tersembunyi (2)

Merauke, kota tertimur Indonesia.

Patung penerjunan Benni Murdani saat pembebasan Irian Barat, yang ga ada mirip2nya..
Dari Sabang sampai Merauke menjajar pulau-pulau....  Sepenggal bait itulah yang langsung terngiang di telinga.  Akhirnya sampai juga saya di Merauke.  Kota yang selalu saya ingin kunjungi. 
Sejak kecil saya senang mengamati peta Indonesia.  Hampir seluruh kota dan bandara saya hafal.  Hingga ketika SD saya dilarang menjawab pertanyaan saat pelajaran IPS.  Hal ini bagi saya merupakan keasyikan sekali menikmati dan mengamati negeri ini.  Tentu saja dengan Merauke, kota yang dikenal seluruh bangsa Indonesia.  Apalagi ketika Garin Nugroho membuat serial kisah anak 1.000 pulau, yang salah satunya menceritakan kehidupan di Taman Nasional Wasur.  Makin menjadi saja keingintahuan saya mengenai kota ini.

Merauke menyambut saya dengan guyuran hujan.  Bandara Mopah masih di bawah pengelolaan pemda, belum angkasa pura.  Sehingga tidak jelas tanggungjawab siapa ketika hujan besar.  Siapa yang menjemput penumpang sesaat setelah keluar dari tangga pesawat.  Ternyata pihak Merpati mencarter mobil-mobil sewaan, silih berganti mengangkut penumpang ke gedung utama. 

Suasana bandara cukup ramai.  Bagasi mulai masuk ke baggage conveyor, tapi konveyor disana hanyalah sepanjang 2 meter saja.  Selanjutnya roda-roda silinder besi yang berderet membentuk huruf U yang menghubungkan konveyor 1 dan konveyor 2.   Selepas dari konveyor otomatis barang harus didorong diatas silinder besi tadi.  Jadilah barang-barang dari konveyor 1 beradu dengan barang yang keluar dari konveyor 2 dari penerbangan yang berbeda.  Barang yang beradu ditaruh di tengah bagian dalam.  Maka, saling berlompatlah para porter menyebrang jalur konveyor....

Penerbangan lanjutan ke Boven Digoel baru bisa keesokan harinya.  Saya masih punya sehari untuk keliling Merauke.  Mulailah tour d’Merauke.  Diawali melintas jembatan sungai Maru, jembatan yang 3x lebih panjang dari jembatan Kapuas.
cilok yg bukan sunda.. emang aci dicolok bahasa jawanya apa ya?
Perjalanan dilanjutkan ke Tanah Miring.  Daerah transmigrasi legendaris.  Orang-orang Jawa sejak dulu sudah berhijrah disana.  Termasuk Benni Moerdani pun ternyata diterjunkan disana waktu pembebasan Irian Barat.  Tugunya yang sama sekali tidak mirip sang Jenderal pun saya kunjungi.  Namun dari kisah penerjunan Irian Barat yang saya baca, ternyata suasana jauh berbeda.  Di daerah ini sudah jauh dari hutan.  Pemukiman sudah berkembang.  Penjual cilok hilir mudik, namun cilok dari Jatim, bukan Bandung.  Tugu ini sekitar 45 menit naik kendaraan dari Merauke.

Para pemukim dari Jawa sudah berkembang.  Usaha dan pertanian cukup baik.  Warung-warung jagung bakar, kelapa dan minuman berderet.  Sehingga wilayah transmigran merupakan salah satu tujuan wisata warga Merauke.  Tujuan wisata lain adalah TN Wasur.  TN Wasur terkenal dengan rumah semutnya yang disebut Mosamos. 
rumah semut, bukan sarang semut ya...
Rumah semut setinggi 2 meter lebih bermunculan di semak-semak.  Namun, pemandangan yang indah seperti di film Garin tidak saya jumpai.  Hamparan padang rumput luas dengan kangguru dan rusa berlarian tidak saya lihat.  Mungkin di bagian lain, atau memang belum diskenariokan ya...

Suasana kota Merauke yang panas di siang hari cukup sepi.  Di sana umumnya toko-toko tutup di siang hari, dan sore hari kembali buka. Seperti Bandung tahun 70-an saja.  Tapi memang berjalan-jalan siang hari cukup menyiksa.  Sinar matahari sangat terik.  Apalagi matahari sedang berada di garis selatan.  Akhirnya saya kembali di dalam kamar berpendingin udara di Hotel Marin.  Nama hotel yang berasal dari nama satu suku di Merauke.

23012011

Papua, bumi yang tersembunyi (1)

Jakarta - Merauke


Papua? Wah, dari dulu sejak zaman Irian Jaya ingin sekali saya menginjakkan kaki di bumi tertimur negeri ini.  Kurang afdol rasanya kalau sebagai bangsa Indonesia kita belum sampai di tempat matahari terbit pertama kali menyinari bumi Indonesia di setiap pagi.

Di saat saya excited, teman dan kerabat mengkhawatirkan kondisi di sana.  Bayangan bawah sadar keadaan saat pembebasan Irian Barat rupanya masih melekat di benak sebagian besar kita.  Apalagi berita terakhir tentang keamanan.  Serangan di Timika, serangan di Merauke, keributan antar suku di beberapa distrik makin melengkapi referensi kekhawatiran. 

Tujuan utama ekspedisi kali ini ialah di Kabupaten Boven Digoel.  Kabupaten enclave yang tidak memiliki laut.  Namun kapal laut dapat singgah.  Ini dimungkinkan karena Sungai Digoel yang lebar dan dalam, yang menjadikan Tanah Merah sebagai hub bagi distribusi barang ke daerah yang lebih dalam lagi.   Berada ditengah-tengah antara Jayapura dan Merauke, berbatasan langsung dengan Papua Nugini.  Namun untuk dapat mencapai itu, saya harus menempuh perjalanan lebih dari 4.000 km.  Jarak yang sama untuk sampai ke negara Jepang, India, melintasi benua Eropa dan jarak pantai barat dan timur AS.  Sungguh negara kita sangat luas!

Seminggu sebelum berangkat, kami sudah rutin menenggak kina.  Hanya itu yang memberi sugesti tentang kekebalan terhadap malaria.  Apalagi beberapa teman yang pernah di Papua mengatakan bahwa Boven Digoel salah satu daerah endemik.  Informasi lain tentang keadaan disana sangat minim.  Searching di internet pun tidak memberikan data yang banyak.  Jadilah hanya mengandalkan pengalaman teman yang pernah lebih dulu ke sana.  Namun yang menjadi perhatian utama ialah bagasi.  Usahakan barang seringkas-ringkasnya.  Bagasi maksimal 3 kg, mengantisipasi pesawat kecil yang akan membawa kami.  Barang lainnya diusahakan masuk ke dalam ransel yang bisa masuk kabin.

Di tiket yang saya terima tertulis CGK-DDJ.  Kami tidak tahu singgah dimana dulu.  Namun setelah di terminal 2F, saya lihat di monitor ternyata pesawat ke Jayapura singgah di Makassar dan Biak.  Perjalanan ke bandara cukup lancar, sehingga kami masih banyak waktu untuk makan malam, walaupun yakin nanti di penerbangan mendapat makan malam.  Jam 21.00 kami sudah boarding.  Dan beberapa saat kemudian lepas landas menuju angkasa yang hitam.
Pesawat yang saya naiki ialah Boeing B737-800NG, full hiburan dengan layar sentuh.  Cukup nyaman untuk perjalanan agak lama.  Hidangan pun cukup bervariasi.  Walaupun tadi sudah makan, saya coba juga menghabiskannya, dan ternyata bisa.  Jam 24.00 WIB atau 01.00 WIT pesawat sudah memasuki bandara Hasanudin Makassar.  Singgah 30 menit cukup untuk sekedar ke toilet dan jalan-jalan meluruskan kaki.

Penerbangan menuju Biak membutuhkan waktu sekitar 2 jam.  Otomatis dini hari penumpang dihidangkan lagi makan.  Entah termasuk makan malam, makan sahur atau sarapan.  Saya sih dengan mantap menolak, karena khawatir akan mengganggu aktivitas rutin lainnya.  Sekitar jam 4 dinihari WITA, saya menginjakkan kaki di Biak sekaligus sholat subuh di bandara Frans Kaisiepo.  Di Biak ini pula crew Garuda diganti.  Jadi selanjutnya ke Sentani kami diantar dengan crew yang masih segar bugar.

Pagi hari di bandara Sentani sangat cerah dan panas.  Bandara yang indah dengan arsitektur mirip honai-honai, tapi lebih mirip gedung tumpeng TMII.  Pesawat beraneka jenis terparkir di bandara yang luas, didominasi pesawat kargo.  Beberapa pesawat yang rusak teronggok juga di sudut parkiran.  Di belakang gunung-gunung menjulang, berbatasan dengan danau Sentani yang indah.  Namun saya tidak bisa lama-lama menikmati alam, pesawat berikutnya menuju Merauke sudah menunggu.  Penerbangan ke Merauke disambung dengan Merpati.  Garuda hanya mengantar sampai di Jayapura saja.  Katanya nanti akan ada juga penerbangan ke Merauke.  Sedangkan pilihan pesawat berbadan lebar ke Merauke selain Merpati adalah Batavia.   Pesawat Merpati yang kami naiki sesungguhnya mengekor sejak dari Soekarno-Hatta.  Baik singgah di Makassar, Biak, selalu beriringan. 
izakod bekai izakod kai, satu hati satu tujuan. merpati milik pemda merauke
Pesawat Merpati seri B737-300 segera membumbung tinggi.  Walaupun pesawat secara umur mungkin rada uzur, tapi dengan pilot yang terasa sangat menikmati penerbangannya menjadikan saya rada tenang.  Pilot cukup aktif memberikan informasi penerbangan dengan nada gembira. Apabila sesorang bekerja dengan hati dan hobinya, tentu hasilnya akan lebih baik.  Itu yang menenangkan saya dengan penerbangan ini. 

Selepas pegunungan Jayawijaya, terlihat hamparan daratan berwarna merah, dan memang itulah Tanah Merah yang saya tuju. Sang Pilot menginformasikan hal itu.  Selain itu, cuaca di Merauke dikabarkan sedang terjadi hujan, namun dengan pembawaan pilot  saya yakin pendaratan akan baik-baik saja.

Akhirnya, di tengah guyuran hujan, sang burung besi mendarat dengan selamat di kota terujung Nusantara.
*22012011*