Berjuang di tanah sendiri
Banyak yang menanyakan, apa sih sebenarnya yang dilakukan saya dan kawan-kawan keliling Nusantara? Mungkin secara singkat disini akan saya gambarkan, sedangkan versi lengkapnya tentu berupa laporan kegiatan dan mudah-mudahan jadi sebuah buku tentang kisah pendidikan di Nusantara. Pendidikan? Ya, sektor itulah yang sedang kami kembangkan.
Di saat kita dihembuskan isu globalisasi, double certificate, kurikulum asing dan sebagainya, kami justru kembali ke akar budaya Nusantara. Mungkinkah kita menjadi bangsa global? Tidak mungkin, yang mungkin ialah bangsa Indonesia yang menguasai dunia. Seperti Cina dengan ekonominya kira-kira. Jadi suatu bangsa harus kuat dan berakar pada budayanya sendiri. Budaya Nusantara merupakan cerminan budaya sains dan ilmu pengetahuan yang sangat hebat. Sebagai bahan pembelajaran, budaya kita tidak mengada-ada dan tersedia alat bahan dan contohnya. Budaya juga yang menjadikan bangsa ini memiliki karakter yang terkenal dahulu. Apa jadinya jika pembelajaran menghilangkan budaya? Karakter bangsa akan hilang, diganti dengan karakter capitalist comperador.
Lihatlah, dari rumah berlomba-lomba dijalanan, nyelip sana-nyelip sini, terobos sana-terobos sini, hanya demi “keteladanan” di kantornya masing-masing yang hanya menggunakan indikator mesin absensi. Seorang dikatakan teladan apabila tepat waktu, tidak peduli perilakunya di jalanan. Itu hanya sepersekian tabiat dari “produk” pendidikan sekarang. Bagaimana mengembalikan bangsa yang unggul, ya harus dengan pendidikan juga, namun bukan pendidikan yang “kosong”, namun pendidikan yang memiliki “ruh” berupa budayanya sendiri. Hanya bagaimana metoda menyampaikan pembelajaran seperti ini sehingga guru-guru memahami dan dapat sampai kepada anak-anak dengan gembira. Inilah yang kami lakukan. Tentu saja tidak mudah dan dapat jadi secepat kilat. Perlu proses dan waktu yang lama. Tapi daripada tidak ada yang memulai dan tidak ada yang mengerjakan, mulailah dengan langkah kecil kami.
Kami yakin, niat dan tindakan akan dipertemukan Tuhan dengan sesama orang, atau lembaga yang memiliki niat dan tindakan yang sama. Demikian pula kami, berkembanglah yang semula skala kecil, kemudian diasah dengan seminar-seminar sehingga akhirnya dapat dicobakan di beberapa bagian negari tercinta ini. Jadilah model pembelajaran yang sesuai konteksnya. Di Nias yang rawan bencana memiliki model sendiri, di Poso yang pernah terjadi peristiwa dahsyat kemanusiaan tentu modelnya khas juga. Demikian juga di Kalimantan, Maluku, Papua, Nusatenggara, dan daerah lainnya. Kearifan-kearifan lokal yang hilang, kita gali bersama lagi dengan para guru setempat dan dijadikan berbagai ragam kegiatan untuk siswa. Dan hingga saat ini kami masih murni bergerak tanpa sangkut paut pendanaan pemerintah.
Membosankan ya membacanya? Sok idealis banget ya. Oke, kalau begitu, saya akan ceritakan satu penggalan kisah lain dari bumi Papua.
Bersyukurlah bagi anak sekolah di daerah lain. Fasilitas sangat berlimpah. Namun di Papua ini, khususnya suku-suku pedalaman harus berjuang ekstra keras. Si Soleman ini contohnya.
Siang hari yang terik, ketika saya jumpai di “gubug”nya, dia bertelanjang dada dan memegang sebuah buku pelajaran agama. Dia agak kaget dengan kedatangan saya dan seorang kawan lagi. Akhirnya kami dibolehkan masuk ke “gubug”nya. Gubug itu, kalau tidak menyinggung perasaan, lebih mirip kandang, merupakan warisan kakak kelasnya yang sekolah di kota Tanah Merah. Berupa rumah panggung berdinding dan beralas papan yang tidak rapat. Atap daun rumbia dengan lubang dimana-mana. Di tengah ruang ada tungku yang penuh abu kayu bakar. Satu-satunya sumber api dan penerangan. Satu buah katel dan panci dan beberapa jarigen air. Itulah perlengkapan rumahnya. Memang agak cukup besar, karena mampu menampung beberapa anak.
Soleman berasal dari suku Korowai, masih kerabat dengan suku Kombai. Jarak dari kota Tanah Merah ke kampungnya relatif, paling dekat 2 minggu jalan kaki, atau bisa sampai sebulan. Tergantung perbekalan dan cuaca. Setelah menyusuri sungai selama 2 hari, dilanjutkan berhari-hari jalan di hutan. Sehingga anak sekolah di sana, apabila selesai bercita-cita akan ke Surabaya, karena lebih dekat. “Kalau ke kampung saya perlu waktu sebulan jalan kaki, ke Surabaya cukup seminggu, Bapa..” Kedua suku ini merupakan suku yang aslinya tinggal di rumah-rumah tinggi. Yaitu rumah yang dibangun di atas pohon. Bukan rumah pohon biasa, tapi pohon yang puluhan meter tingginya.
Di samping gubugnya, terdapat juga rumah tinggi. Mungkin anak-anak membangun untuk melepas kerinduan terhadap kampung halamannya yang tidak dapat sepanjang tahun dia tengok. Sambil bercerita, Soleman yang mengaku belum makan sejak pagi kami persilahkan makan, kebetulan kami membawa nasi satu kotak, dan sedikit perkedel dan kerupuk dari tempat kegiatan yang saya lakukan di tempat lain. Sambil makan nasi, dia hanya makan nasi saja, dia bercerita tentang hidupnya. Ia masih kelas 5 SD dan mengaku berumur 11 tahun, sekolahnya kira-kira 4 km dari gubug ini. Membaca pun belum begitu lancar. Namun dari penampakan tentu saja saya tidak percaya dia berumur 11 tahun. Badannya sudah besar dan tegap dengan cambang yang sudah tumbuh. Dia pernah datang ke Tanah Merah ini di tahun 2008 dahulu. Saat membawa ayahnya dari kampung berobat ke kota. Bertiga dengan ibunya, mereka berjalan berminggu-minggu hingga sampai ke kota. Di kota disuruh pulang kembali karena tidak mungkin diobati. Sakit kulitnya sudah sangat parah. Konon katanya orang dari jauh sudah dapat mencium bau penyakit ini. Dengan kondisi parah, sang ayah dibopong kembali oleh Soleman kecil dan ibunya. Setelah 2 hari di perahu dan akan melanjutkan berjalan ke hutan, ayahnya meninggal. Soleman kecil dengan segala cara membuat kuburan bagi ayahnya di dalam hutan. “Saya gali setinggi ini...” katanya sambil menunjuk pinggangnya. Dia bercerita sambil berkaca-kaca....
Adalah biasa kalau pagi hari tidak makan. Ia dan semua anak-anak makan siang hari setelah mereka mendapat uang atau bekerja. Anak-anak SD yang masih kecil tidak diwajibkan kerja. Anak besar saja yang bekerja. Ada yang menggali pasir dan menjualnya ke toko bangunan, ada yang mencuci dan mebersihkan rumah di rumah-rumah kota. Anak dewasa mendapat uang Rp 20.000 dari upah menggali pasir dan menaikannya ke truk. Walau dapat uang, harga beras disini mahal, mereka hanya mampu membeli beras seharga Rp 85.000-100.000 untuk 15 kg, entah kualitas apa. Itu juga tidak dapat rutin mereka lakukan. Lebih sering makan mie instan barangkali. Apabila tidak mendapat makanan, puasalah mereka sampai pingsan. Sambil ditunjuk dan ditertawakan kawannya, Soleman mengaku kemarin ia sempat pingsan karena kelaparan. Kegembiraan dalam keprihatinan, membuat saya menitikan air mata. Mereka sama sekali tidak mendapat jatah raskin. Mereka berjuang sendiri demi sekolah dan masa depannya.
Luar biasanya ialah mereka hampir tidak pernah tidak membayar sekolah. Di Tanah Merah, SMK masih memungut Rp 20.000,-, SMP bahkan Rp 50.000,- dan itu mereka bayar dengan mengorbankan rasa kenyang. Di luar itu, mereka harus menanggung adik-adik kelasnya yang masih kecil-kecil. Memang persaudaraan antar suku sangat kuat. Suku adalah keluarga, dimana seorang wajib mengayomi sesama sukunya.
Sekarang tahun 2011, dia sudah kelas 5 SD. Dia bercita-cita ingin menjadi guru, karena ingin membawa desanya menjadi maju. Sebuah cita-cita sederhana, yang semoga dapat dicapainya.
Masih banyak Soleman-soleman lain, yang mudah-mudahan saya bisa menceritakannya lagi.
25012011